Minggu, 18 Mei 2014

PENYADAPAN, RKUHP DAN RKUHAP Pengaturan penyadapan dalam RKUHP dan RKUHAP menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Bagi sebagian orang, pengaturan penyadapan dalam kedua RUU tersebut dinilai sebagai upaya membatasi kewenangan KPK, sehingga berpotensi menghambat pemberantasan korupsi. Dalam pemberantasan korupsi, penyadapan menjadi kewenangan yang sangat efektif dalam memberantas korupsi, khususnya tindak pidana yang berkaitan dengan suap. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah benar ketentuan penyadapan dalam kedua RUU itu dibuat untuk membatasi kewenangan KPK? Pertanyaan ini dapat dijawab secara obyektif dengan menelaah ketentuan tentang penyadapan dalam RKUHP dan RKUHAP. Penyadapan diatur dalam Pasal 300 RKUHP dengan ancaman pidana satu tahun penjara atau denda maksimal kategori II. Terdapat dua hal penting dalam pasal tersebut untuk menegaskan bahwa ketentuan penyadapan tidak menghambat kewenangan KPK. Pertama, dalam Pasal 300 RKUHP disebutkan secara tegas frasa "secara melawan hukum" yang bertujuan untuk membatasi agar orang-orang yang berhak tidak terkena pasal ini. Penyadapan dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Ketentuan ini tidak mereduksi kewenangan penyadapan KPK karena penyadapan merupakan kewenangan berdasarkan UU KPK. Kedua, kewenangan penyadapan berdasarkan Pasal 12 UU KPK merupakan alasan pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukum dari penyadapan yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP. Alasan pembenar ini secara tegas diatur dalam Pasal 31 RKUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang melaksanakan perintah UU tidak dipidana meski perbuatan tersebut terlarang. Dalam konteks ini, penyadapan KPK tidak berbeda dengan pelaksanaan pidana mati dengan cara menembak dan penahanan yang mengurangi kebebasan orang lain. Pelaksanaan pidana mati tidak melanggar Pasal 338 KUHP (doodslag) karena hal itu merupakan perintah UU. Dengan demikian, Pasal 300 RKUHP tidak menghambat kewenangan penyadapan KPK. Sementara itu berdasarkan Pasal 83 dan Pasal 84 RKUHAP, penyadapan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana tertentu, termasuk korupsi dan pencucian uang berdasarkan perintah tertulis dari atasan penyidik setelah mendapat ijin dari hakim komisaris. Bagi sebagian kalangan, ketentuan tersebut dapat membebani KPK dan menciptakan inefektifitas karena dibutuhkan kecepatan dan kerahasiaan dalam melaksanakan penyadapan. KPK sendiri beralasan bahwa selama ini penyadapan telah diaudit oleh lembaga yang kredibel sehingga tidak diperlukan ijin dari hakim komisaris. Apakah tepat fungsi pengawasan seperti itu? Persoalan penyadapan harus dipandang sebagai salah satu rangkaian penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Sebagai bagian dari SPP, maka penyadapan harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, ketentuan dan prosedur penyadapan harus diatur dalam UU. Sejauh ini, Pasal 12 UU KPK hanya mengatur ketentuan penyadapan, sedangkan prosedur penyadapan diatur dalam Standard Operating Procedure (SOP) yang dibuat secara internal oleh KPK. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena ketentuan dan prosedur hukum acara pidana harus dibuat dalam UU karena berpotensi melanggar hak asasi. Oleh karena Pasal 12 UU KPK tidak mengatur prosedur penyadapan, maka Pasal 12 UU KPK akan mengikuti prosedur yang diatur dalam RKUHAP, jika nantinya RKUHAP disahkan menjadi UU. Kedua, diskresi untuk menggunakan penyadapan bersifat tertulis dan merujuk kepada UU. Diskresi dalam hukum pidana didasarkan pada asas legalitas dan bertujuan untuk mengurangi hak orang. Oleh karenanya, setiap keputusan diskresional dalam penegakan hukum harus tertulis dan merujuk kepada UU agar menjamin bahwa perampasan hak hanya dilakukan untuk tujuan hukum. Prinsip ini juga berlaku bagi KPK manakala menggunakan kewenangan penyadapan yang berpotensi melanggar hak tersadap. Ketiga, adanya pengawasan terhadap diskresi penyadapan dan dapat diuji. Dalam konteks inilah Pasal 83 RKUHAP dirumuskan agar tercipta pengawasan dari lembaga pengadilan (melalui hakim komisaris) sebagai lembaga sentral dalam SPP. Sebagai subsistem, KPK tidak bisa bergerak sendiri. Terdapat keterkaitan dengan subsistem lainnya yang berpusat pada pengadilan. Selain pengawasan, keputusan diskresional tentang penyadapan bertujuan untuk memberikan ruang bagi pihak yang berkepentingan untuk dapat menguji keabsahan dari sebuah keputusan penegakan hukum. "Dasar uji" ini menjadi tolak ukur atas akuntabilitas dari keputusan penegak hukum. RKUHAP berusaha memberikan fondasi bagi sistem peradilan pidana yang modern dan akuntabel. Untuk tujuan itu, setiap tindakan penegakan hukum harus didasarkan pada UU dan keputusan diskresional (tertulis) yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk tujuan itu pula, pihak-pihak yang berkepentingan harus dilibatkan untuk mengawasi dan menguji. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang berimbas pada pelanggaran hak-hak tersangka dan terdakwa. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan syarat bagi pembangunan demokrasi. Hal ini mensyaratkan setiap tindakan negara yang berpotensi melanggar hak warga negara harus benar-benar didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ironis, jika kita menuntut perbaikan sistem politik yang demokratis tapi memandang pembangunan sistem peradilan pidana dengan sebelah mata. Sebab, pengabaian terhadap pembangunan SPP yang akuntabel berarti memberikan ruang yang sedemikian besar kepada negara untuk merampas hak-hak warga negara. Oleh karenanya, perbaikan sistem peradilan pidana harus diletakkan dalam usaha besar untuk membangun demokrasi. Akhirnya kita mengharap RKUHP dan RKUHAP menjadi "karya agung" dari hukum Indonesia setelah sekian lama kita mrnggunakan KUHP warisan kolonial. Upaya ini memerlukan kritik obyektif dan membuang jauh-jauh tendensi tanpa dasar.
PENTINGKAH DIKTUM "PERINTAH MASUK"? Beberapa hari lalu, eksekusi terhadap Susno Duadji diwarnai kericuhan. Susno menolak dieksekusi oleh tim eksekutor dari Kejaksaan Tinggi DKI. Penolakan tersebut didasarkan pada alasan bahwa putusan terhadap Susno batal demi hukum karena tidak mencantumkan diktum "perintah masuk" sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Sepenting apakah diktum tersebut sehingga menyebabkan putusan batal demi hukum? Dan kenapa hakim mengabaikan diktum tersebut? Putusan Susno bukanlah pertama kalinya terjadi. Putusan serupa yang tidak mencantumkan diktum "perintah masuk" sering kali dianggap sebagai persoalan sepele oleh sebagian hakim. Perdebatannya telah berlangsung lama dan persoalan ini menemukan momentumnya dalam eksekusi Susno. Putusan pengadilan, sama halnya dengan dakwaan dan tuntutan adalah keputusan diskresional yang tunduk kepada cara-cara yang diatur dalam UU. Namun perlu digarsibawahi bahwa keputusan diskresional dalam hukum pidana berbeda dengan diskresi dalam hukum administrasi negara. Dalam hukum pidana, keputusan diskresional tunduk kepada asas legalitas dan bertujuan untuk merampas hak orang. Tindakan menahan, mendakwa, menuntut dan menjatuhkan pidana adalah bagian dari keputusan diskresional yang tunduk kepada UU. Berdasarkan asas legalitas, aturan hukum (UU) bertujuan untuk membatasi (bukan memberikan) kewenangan, sehingga penegak hukum hanya diperbolehkan menegakkan hukum dengan cara-cara limitatif yang diatur dalam UU. Pembatasan dilakukan untuk mencegah terlanggarnya hak secara berlebihan. Pada tingkat keputusan diskresional, asas legalitas mengharuskan adanya keputusan tertulis. Berdasarkan hal ini dapat ditarik dua kesimpulan penting. Pertama, ada ketentuan UU yang mengatur secara tegas tata cara penegakan hukum tertentu. Kedua, UU harus dikonkretisasi dalam keputusan diskresional agar dapat dilaksanakan (dieksekusi). Dengan kata lain, perampasan hak harus didasarkan pada dua hal, UU dan keputusan diskresional. Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP secara tegas mengatur bahwa putusan harus memuat perintah ditahan, tetap ditahan atau dibebaskan. Putusan menjadi batal demi hukum jika putusan tidak memuat perintah tersebut (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Ketentuan ini mengatur rezim kewajiban bagi hakim dalam membuat keputusan diskresional untuk memilih apakah terdakwa ditahan atau tetap ditahan manakala ia terbukti bersalah atau dibebaskan jika tidak terbukti melakukan tindak pidana. Pilihan ini bersifat imperatif dalam pengertian bahwa manakala hakim memutuskan bersalah dan menjatuhkan pidana penjara, maka hakim harus memerintahkan terdakwa ditahan atau tetap ditahan dalam diktumnya. Sekilas persoalan ini tampak sepele, namun sesungguhnya Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengandung dasar perlindungan hak terhadap warga negara yang menjadi terpidana. Hakim sebagai representasi negara tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk merampas hak tanpa alasan hukum yang sah dan menurut tata cara yang diatur dalam UU. Nilai dasar inilah yang dilupakan oleh Mahkamah Konstitusi ketika memutus perkara No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) KUHAP tidak mengikat. Ada tiga catatan penting dalam putusan tersebut. Pertama, Mahkamah Konstitusi melupakan prinsip dasar hukum acara pidana yang bertujuan melindungi hak tersangka dan terdakwa. Pasal 197 KUHAP tidak berkaitan dengan keterbatasan manusia yang memiliki banyak kekeliruan (hal 140), tetapi seharusnya dikaitkan dengan pembatasan kewenangan penegak hukum agar tidak mencerabut hak-hak warga negara. Perhatian utama pasal tersebut adalah pencegahan kesewenang-wenangan. Kedua, Mahkamah Konstitusi hanya mengutamakan substansi tetapi mengabaikan prosedur. Menurut Mahkamah, Pasal 197 KUHAP merupakan aturan formal yang tidak dapat mereduksi kebenaran materiel tentang kesalahan terdakwa. Dalam hukum pidana tidaklah demikian. Keadilan substantif dan keadilan formil dinilai sama pentingnya. Bahkan keadilan formil merupakan pintu masuk bagi hakim untuk menetapkan keadilan substantif (establishing the truth). Dalam konteks ini, maka Pasal 197 KUHAP merupakan bagian tidak terpisahkan dari usaha untuk mencapai kebenaran materiel. Tanpanya, syarat kebenaran materiel tidak terpenuhi. Ketiga, Mahkamah Konstitusi justru mengaburkan kepastian hukum dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Dalam pertimbangan hukumnya (hal 141), Mahkamah bersikap ambigu seolah menyatakan bahwa Pasal 197 KUHAP hanya berlaku bagi tindak pidana yang tidak menimbulkan kerugian, namun hal ini tidak ditindaklanjuti dalam petitum putusan. Uraian di atas memperlihatkan bahwa Pasal 197 KUHAP merupakan salah satu simbol perlindungan hak terhadap warga negara yang menjadi fundamen hukum acara pidana. Manakala kepastian atas perlindungan hak direduksi, maka fungsi hukum acara tidak berjalan dengan baik. Gambaran ini justru banyak ditemukan dalam putusan hakim. Kekeliruan dalam pencantuman putusan seringkali direduksi sebagai kesalahan clerical, meski hal itu berkaitan erat dengan hak-hak warga negara. Fenomena ini mengkuatirkan karena pengadilan (hakim) mulai menunjukkan pengabaian hak-hak warga negara. Selain pelanggaran terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, pelanggaran lainnya juga dapat dilihat dari beberapa kebijakan Mahkamah Agung yang menerima peninjauan kembali dari jaksa, menerima kasasi atas putusan bebas dan hal lainnya yang bertentangan dengan KUHAP. Akibatnya, banyak sekali putusan hakim yang tidak bersandar pada prinsip hukum. Dalam konteks yang lebih luas, gejala ini akan melemahkan sistem peradilan pidana. Penulis teringat peringatan Nicola Lacey dalam artikelnya "HUMANIZING THE CRIMINAL JUSTICE MACHINE" dalam Harvard Law Review (2013:1299) bahwa pengambilan keputusan yang pragmatis dan tidak berdasar prinsip hukum (unprincipled policymaking) dapat mempercepat runtuhnya sistem peradilan pidana. Ada baiknya hakim dan pengadilan memperhatikan peringatan ini.

Selasa, 20 September 2011

MENGURAI BENANG KUSUT KASUS WISMA ATLET DAN HAMBALANG.

Beberapa waktu ini, kasus Wisma Atlet dan Hambalang semakin mencuat. Kasus ini semakin menghangat setelah Nazaruddin, yang telah ditetapkan sebagai tersangka, secara berkala memberikan “kesaksian” yang menyebutkan keterlibatan beberapa petinggi partai pemenang pemilu 2009. Nazaruddin sendiri adalah tersangka bersama tiga orang tersangka lainnya yang diduga terlibat kasus Wisma Atlet. Muncul beberapa pertanyaan tentang kasus ini dihubungkan beberapa informasi yang disampaikan oleh Nazaruddin; apakah memang pelaku tindak pidana dalam kedua kasus tersebut hanya dilokalisasi kepada keempat orang tersebut yang secara aktual dan faktual diduga terlibat dalam tindak pidana yang dituduhkan ataukah terdapat orang lain yang juga terlibat? Jika jawabannya positif, maka apakah proses hukum terhadap orang-orang di belakang layar itu dapat dilakukan tanpa kehadiran Nazaruddin untuk menjalani proses hukum ataukan harus menunggu Nazaruddin pulang mengingat bahwa sampai saat ini tidak ada pihak lain yang ditetapkan sebagai tersangka atas kedua kasus tersebut.

PELAKU TINDAK PIDANA

Keempat tersangka dan terdakwa dalam kasus Wisma Atlet merupakan orang-orang yang secara aktual dan faktual terlibat dalam kasus Wisma Atlet. Dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, seringkali orang yang secara langsung melakukan tindak pidana dipandang sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan orang-orang di belakang yang mengatur terjadinya tindak pidana kerap tidak tersentuh oleh hukum.
Sejatinya tidak selalu demikian. Hukum pidana memahami modus kejahatan yang seringkali menempatkan orang di belakang layar sebagai pembuat tindak pidana, karena keberadaannya menjadi penentu terjadinya tindak pidana, sedangkan pelaku langsung hanya sebagai “boneka” saja. Modus semacam ini sering ditemukan dalam kejahatan “kerah putih” (white collar crime) dan kejahatan terorganisasi, termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi.
Berdasarkan hal itu, hukum pidana mengembangkan ajaran pembuat tindak pidana, sehingga pelaku tindak pidana bukan saja yang secara langsung melakukan tindak pidana, tetapi meliputi orang yang secara fungsional menyebabkan keadaan terlarang. Cluysenaer dalam disertasinya menyatakan “bij het ontbreken van iedere wettelijke regeling ware als dader van een strafbaar feit te beschouwen hij, wiens gedraging adaequaat veroorzaakt, dat het door de delictsomschrijving beschermde rechtsbelang (eventueel op de aldaar aangegeven wijze) wordt geschonden” (Daderschap, 1939: 11). Dalam hal UU tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pembuat tindak pidana, maka penafsiran terhadap hal itu meliputi orang-orang yang secara adekuat menyebabkan terlanggarnya kepentingan hukum tertentu. Penentuan pelaku didasarkan pada hubungan orang tersebut dengan peristiwanya.
Menurut hemat penulis, pandangan ini dapat digunakan dalam menentukan siapa sebenarnya yang seharusnya ditetapkan sebagai pembuat tindak pidana, di samping empat orang tersangka dan terdakwa tersebut. Dengan bukti yang dimiliki empat tersangka tersebut, seharusnya KPK dapat mengurai benang kusut kasus Wisma Atlet dan Hambalang sehingga “aktor penting” yang secara fungsional berperan penting dalam mengatur terjadinya tindak pidana dapat ditetapkan sebagai pelaku dan disidangkan. Oleh karena pelaku lebih dari satu orang, maka KPK dapat menggunakan doktrin penyertaan berdasarkan Pasal 55 KUHP.

PEMERIKSAAN HUKUM

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan hukum terhadap “aktor penting” tanpa kehadiran Nazaruddin ke Indonesia? Bisa saja. Dengan mengelaborasi ketentuan penyertaan dimungkinkan bahwa pemeriksaan terhadap “aktor penting”, sebagai orang yang ikut serta melakukan tindak pidana bersama pelaku (peserta), dapat dilakukan tanpa didahului dengan proses hukum terhadap Nazaruddin, sepanjang “aktor penting” tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan tindak pidana.
Untuk itu, KPK perlu mengelaborasi pandangan Cluysenaer dengan doktrin penyertaan berdasarkan Pasal 55 KUHP. Penyertaan adalah perluasan tindak pidana. Seseorang dianggap melakukan tindak pidana manakala ia melanggar kaidah dan norma yang diperluas itu. Dalam konteks ini, persoalan terpenting dalam penyertaan adalah adanya hubungan antara peserta (“aktor penting”) dengan tindak pidana. Bisa jadi “aktor penting” tidak melakukan tindak pidana secara langsung, tetapi terdapat hubungan yang demikian erat dengan tindak pidana sehingga “aktor penting” itu dapat ditarik sebagai peserta. Jika titik tolak pemeriksaan pelaku terletak pada tindak pidana, maka titik tolak pemeriksaan peserta terletak pada hubungannya dengan tindak pidana.
Berangkat dari konsepsi ini, pemeriksaan hukum terhadap “aktor penting” didasarkan kepada hubungan “aktor penting” dengan tindak pidana, yang diwujudkan dalam peran pentingnya terhadap terjadinya tindak pidana. Berdasarkan itu, perhatian utama pemeriksaan hukum terhadap peserta terletak dalam hubungan peserta dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (langsung), dan bukan hubungan antara pelaku dan peserta. Sebab, hubungan antara pelaku dan peserta mengharuskan proses hukum terhadap pelaku mendahului proses hukum terhadap peserta, bukan sebaliknya.
Pemeriksaan hukum yang didasarkan atas hubungan peserta dengan tindak pidana yang dilakukan pelaku memungkinkan bahwa proses hukum terhadap peserta dapat mendahului proses hukum terhadap pelaku, sepanjang ditemukan fakta bahwa tindak pidana terjadi dan peserta mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Dalam kasus Wisma Atlet, misalnya, pemeriksaan terhadap “aktor penting” dapat dilakukan tanpa didahului dengan pemeriksaan Nazaruddin. Penyidikan dan persidangan dalam kasus Wisma Atlet cukup menjadi dasar bahwa penyidik telah menyimpulkan terjadinya tindak pidana. Pekerjaan yang tersisa bagi penyidik adalah membuktikan keterkaitan “aktor penting” dengan tindak pidana tersebut. Untuk kasus Hambalang, tindak pidananya harus lebih dulu diperiksa oleh penyidik, sebelum penyidikan menetapkan siapa saja yang berhubungan dengan kasus tersebut.
Doktrin penyertaan sebagai perluasan tindak pidana perlu dikembangkan dan digunakan oleh penegak hukum untuk menyiasati “hilangnya” salah satu pelaku tindak pidana agar tidak menghambat proses hukum terhadap pelaku tindak pidana lainnya. Dalam kasus ini, pemeriksaan terhadap “aktor penting” dapat ditindaklanjuti tanpa keharusan bagi penegak hukum untuk memeriksa, mengadili dan memidana Nazaruddin terlebih dahulu. Sebab, pemeriksaan terhadap “aktor penting” bertumpu kepada hubungan antara tindak pidana dalam kasus Wisma Atlet dan “aktor penting”, bukan hubungan antara Nazaruddin dengan “aktor penting” itu.
Sebelumnya, doktrin penyertaan mengharuskan pelaku langsung diperiksa, diadili dan dipidana lebih dulu dari peserta. Hal ini menyulitkan manakala pelaku langsung melarikan diri sehingga proses hukum terhadap peserta tidak dapat ditindaklanjuti. Sekarang berpulang kepada keinginan KPK untuk memproses kasus ini. Kita tunggu saja.

Minggu, 19 April 2009

DIMENSI HUKUM PIDANA

Oleh: Muhammad Ainul Syamsu
(Advokat)

A. Pengantar

Dimensi hukum pidana tidak hanya menyangkut persoalan doktriner dan prosesual yang digunakan dalam persidangan. Lebih dari itu, dimensi hukum pidana mencakup persoalan kebijakan hukum pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, penerapan ketentuan normatif yang dihasilkan dari kebijakan dan pelaksanaan pemidanaan sebagai nestapa atas pelanggaran norma yang telah ditentukan dalam hukum pidana. Dari sini terlihat bahwa korelasi hukum pidana telah tercipta sejak adanya keinginan untuk melakukan pengaturan terhadap perilaku tertentu dalam rangka menjaga tertib masyarakat dan memberikan perlindungan warga negara dari represi negara. Dalam konteks ini, dimensi hukum pidana diadakan dalam rangka memenuhi fungsi hukum pidana. Profesor Sudarto menyatakan bahwa hukum pidana memiliki fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer hukum pidana adalah memberikan pengaturan kepada masyarakat untuk menciptakan tertib hukum. Fungsi sekunder hukum pidana adalah membatasi perilaku aparatur hukum dalam menjalankan hukum demi menjaga hak-hak warga negara. Dalam kerangka menjalankan fungsi-fungsi tersebut, maka pembahasan hukum pidana tidak dapat dibatasi pada persoalan doktriner dan prosesual, tapi harus diperluas sehingga mencakup kebijakan hukum pidana, pengugeran norma dalam aturan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana.

Pembahasan hukum pidana yang hanya menitikberatkan kepada doktriner dan prosesual justru mereduksi eksistensi hukum pidana karena akan memangkas sensifitas hukum pidana terhadap nilai-nilai yang seyogyianya diatur dalam ketentuan normatif. Hal ini disebabkan hukum pidana doktriner dan prosesual merupakan ketentuan normatif. Ketentuan normatif mempunyai arti menakala norma yang diatur dihasilkan dari kenyataan sosiologis yang benar-benar terjadi di masyarakat. Dengan kata lain, pembentukan hukum pidana doktriner dan prosesuil harus didahului penentuan kebijakan hukum pidana agar pengugeran mempunyai relevansi dengan keadaan sosilogis. Dalam konteks tersebut, makalah ini mengupas sekilas tentang dimensi hukum pidana yang meliputi kebijakan hukum pidana, hukum pidana normatif dan hukum pelaksanaan pidana.


B. Kebijakan Hukum Pidana: Urgensi Krimonologi bagi Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial. Kebijakan hukum pidana atau yang lazim disebut politik kriminil merupakan upaya masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Ungkapan ini berasal dari Profesor Marc Ancel yang menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana adalah “the rational organization of the control of crime by society”. Sejalan dengan pengertian tersebut,Profesor GP Hoefnagels mendefinisikan kebijakan hukum pidana dengan “criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”. Berdasarkan pengertian ini, kebijakan hukum pidana berupaya untuk mengidentifikasi hal-hal tertentu yang perlu diatur dalam rangka menanggulangi kejahatan.

Sebagai ciri hukum pidana dalam negara modern, kebijakan hukum pidana mempunyai pengaruh penting dalam menentukan arah dan pembaruan hukum pidana. Dalam konteks ini, kebijakan hukum pidana meletakkan dasar bagi perilaku tertentu yang dilarang, penerapan ketentuan tersebut serta lembaga-lembaga yang berwenang dalam penegakan hukumnya. Kebijakan hukum pidana bertugas memberi masukan bagi legislasi dan memformulasi kemampuan lembaga-lembaga yang berwenang atas penegakan hukumnya, sehingga keberlakuan dan efektifitas hukum pidana dalam menjalankan fungsinya dapat tercapai dengan baik. Lingkup kerja kebijakan hukum pidana yang begitu luas tercermin dalam pengertian kebijakan hukum pidana yang diungkapkan oleh Profesor Sudarto, yang mengelaborasi beberapa pengertian yang lazim dianut dalam diskursus kebijakan hukum pidana, dengan merinci kebijakan hukum pidana terdiri dari keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan ataupun polisi dan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Senada dengan pengertian yang diutarakan oleh Profesor Sudarto, Profesor Mulder menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana berfungsi untuk menentukan seberapa jauh ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah dan perbarui, pencegahan terjadinya tindak pidana dan pengaturan tentang pelaksanaan proses judisial seperti penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan pidananya.

Beberapa pengertian di atas menegaskan bahwa kebijakan hukum pidana mempunyai dua tugas utama. Pertama, kebijakan hukum pidana memberikan arah bagi aturan hukum pidana. Arah yang ingin dituju oleh aturan hukum pidana tercermin baik secara eksplisit maupun implisit dalam peraturan pidana yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Sementara itu, arah yang ditentukan dalam kebijakan hukum pidana harus tetap dipedomani oleh lembaga legislatif. Kedua, kebijakan hukum pidana bertugas melakukan reevaluasi, rekonstruksi dan mereorganisasi aturan hukum pidana dan badan pelaksananya agar keduanya selalu sejalan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam kerangka reformasi hukum pidana, tindakan reevaluasi, rekonstruksi dan reorganisasi hukum pidana mutlak dilakukan. Reformasi hukum pidana harus didasarkan kepada pendekatan yang berorientasi kebijakan (policy-oriented approach) dan pendakatan yang berorientasi kepada nilai (value-oriented approach). Dilihat dari segi pendekatan kebijakan, reformasi hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial yang lebih luas yang secara integral diberlakukan dalam rangka pembangunan bangsa secara umum dan secara khusus memberikan perlindungan kepada masyarakat. Dengan begitu, hukum pidana diharapkan dapat terus memperbarui diri berdasarkan perubahan sosial dan masyarakat. Dilihat dari pendekatan nilai, reformasi hukum pidana menggambarkan upaya reaktualisasi atas nilai sosial, politik dan ekonomi yang mendasari ketentuan normatif hukum pidana sehingga dimungkinkan perubahan aturan hukum manakala ditemukan bahwa nilai sosial, politik dan ekonomi yang dianut dalam aturan hukum di masa lalu tidak relevan lagi di zaman sekarang. Dalam kerangka ini, kriminalisasi harus didasarkan atas orientasi kebijakan dan nilai dengan tetap membuka jalan dilakukannya dekriminalisasi terhadap tindak pidana yang tidak relevan dengan keadaan sosio politik dan ekonomi.

Proses kriminalisasi dalam hukum pidana Indonesia terlihat dari maraknya berbagai perundang-undangan di luar KUHP. Kendati kriminalisasi diperlukan karena KUHP tidak dapat menampung semua ketentuan tentang tindak pidana, namun sering kali ditemukan kriminalisasi yang tidak didasarkan kepada kebutuhan nyata masyarakat dan tidak mempersiapkan kapabilitas badan pelaksana. Hal ini terlihat dalam Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) yang mengabaikan diversitas masyarakat Indonesia. Secara implisit, satu-satunya faktor dilakukannya kriminalisasi dalam bentuk UU Pornografi adalah pertimbangan moralitas yang bersifat segmental dan tidak mewakili keseluruhan masyarakat Indonesia. Kendati penulis menyetujui perlunya penanggulangan kejahatan pornografi dan kesusilaan, namun penanggulangan pornografi tidak serta mengabaikan budaya dan adat yang telah lama hidup di Indonesia. Aturan hukum pidana yang hanya didasarkan kepada aspek moralitas semata dan mengabaikan keadaan nyata masyarakat berpotensi menimbulkan represi ataupun kelebihan kriminalisasi (overcriminalization) yang berakhir dengan inefektifitas penerapan UU tersebut.

Rancangan KUHP pun tidak terlepas dari potensi kelebihan kriminalisasi karena proses kriminalisasi tidak didukung dengan penelitian tentang nilai sosio politik dan ekonomi masyarakat. Hal ini terlihat dalam ketentuan tentang santet yang diatur dalam Rancangan KUHP. Ketentuan tidak mencerminkan masyarakat modern yang menekankan rasionalitas. Kendati tindak pidana santet merupakan delik formil yang tidak mensyaratkan akibat, paradigma yang mendasari tindak pidana santet tidak mencerminkan budaya masyarakat modern. Bahkan dalam tulisannya, Profesor Barda Nawawi Arief merujuk kepada kerajaan Majapahit yang mengatur tindak pidana santet. Persoalan yang mengemuka dari tindak pidana santet berkaitan dengan sejauhmana kebutuhan masyarakat terhadap pengaturan tersebut dan sejauhmana kemampuan kepolisian dalam membuktikan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, tindak pidana sihir atau santet berpotensi menciptakan overreach criminal law karena ketidakmampuan hukum acara dan badan pelaksananya untuk menegakkan hukum tentang sihir dan santet.

Kenyataan serupa juga terjadi dalam penerapan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). UU TPPU memberikan kewenangan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menganalisis transaksi keuangan yang mencurigakan berdasarkan kelaziman jumlah transaksi yang biasa dilakukan. Transaksi keuangan dinilai mencurigakan manakala transaksi tersebut melebihi empat kali jumlah transaksi yang biasa dilakukan. Penilaian tersebut tidak disertai dengan penyelidikan terhadap asal dana diperoleh sehingga memungkinkan PPATK menggunakan asumsi dalam menilai transaksi. Dalam pelaksanaannya, seringkali kepolisian menerima begitu saja hasil analisis PPATK dan menyamakan transaksi keuangan mencurigakan dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di Pengadilan Negeri Karawang yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan menggunakan bukti petunjuk yang bertentangan dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa, sedangkan pihak kepolisian dan kejaksaan tidak mampu mendatangkan hasil pemeriksaan pajak. Sejatinya, kepolisian dan kejaksaan membuktikan bahwa transaksi keuangan tersebut berasal dari tindak pidana sehingga memenuhi unsur tindak pidana pencucian uang.

Proses peradilan tersebut di atas memperlihatkan ketidakmampuan kepolisian dalam menangani persoalan. Kemampuan terbatas kepolisian dalam menangani perbankan membutuhkan ahli yang mendukung kerja kepolisian, sehingga hasil penyidikan tidak mengandung asumsi. Hasil penyidikan yang sarat asumsi menegaskan bahwa kepolisian, sebagai lembaga yang berwenang untuk menyidik, tidak mempunyai keahlian cukup sehingga alat perlengkapan hukum pidana tidak mampu menjangkau kebenaran substansi yang ingin dituju dalam UU TPPU. Dengan kata lain, politik kriminal dalam UU TPPU tidak mempersiapkan dengan baik lembaga pelaksana UU TPPU sehingga pengaturan UU TPPU berada di luar jangkauan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Seiring dengan kriminalisasi, dekriminalisasi juga mewarnai perkembangan hukum pidana. Salah satunya adalah dekriminalisasi terhadap Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP dengan manyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mengikat. Dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 6 Desember 2006 disebutkan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP tidak sesuai dengan alam demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Disebutkan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa “dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dasar (fundamental social values) dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat-pejabat pemerintah (pusat dan daerah)...”. Selain itu, pengertian ratu (koning) tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan presiden. Ratu mempunyai keterkaitan sedemikian rupa dengan martabat negara, sedangkan kedudukan presiden, sekalipun berhak mendapat perhormatan secara protokoler, tidak diperkenankan memperoleh hak istimewa yang membedakannya dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini sejalan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Oleh karenanya, manakala penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden bersifat pribadi, maka dicukupkan menggunakan Pasal 310 KUHP. Sebaliknya, manakala perhinaan ditujukan kepada presiden sebagai kepala negara, maka dapat diterapkan Pasal 207 KUHP. Dekriminalisasi ini menegaskan bahwa secara historis, perubahan pengertian koning menjadi president dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie tidak mempunyai dasar legitimasi sosio politik yang kuat, sehingga pasal-pasal tersebut tidak perlu dipertahankan.

Serupa dengan kriminalisasi, proses dekriminalisasi sejatinya memperhatikan dimensi sosial. Dekriminalisasi bertujuan untuk melakukan reformasi hukum pidana sejalan dengan iklim politik yang demokratis. Penghapusan UU subversif, misalnya, menunjukkan bahwa represi negara atas rakyatnya dengan menggunakan nama hukum tidak sejalan dengan fungsi-fungsi hukum (pidana) untuk mengatur perilaku masyarakat dan membatasi gerak negara guna memberikan perlindungan hukum kepada warganya. Dengan membaiknya kehidupan berpolitik dan berbangsa berdasarkan demokrasi, maka UU Subversi tidak relevan lagi untuk dipertahankan.

Uraian di atas menguatkan pernyataan bahwa kebijakan hukum pidana mempunyai arti positif bagi reformasi hukum pidana manakala kebijakan hukum pidana mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi dan politik, serta mempersiapkan kemampuan badan pelaksana UU. Dalam tahapan inilah, kriminologi mempunyai peran penting dalam memberikan masukan tentang realitas sosial masyarakat sehingga ketentuan normatif yang diatur dalam hukum pidana sejalan dengan realitas sosial.

Kendati kriminologi dan hukum pidana berseberangan, namun sinergi keduanya dapat menciptakan kebijakan hukum pidana yang lebih terarah. Di satu sisi, kriminologi merupakan ilmu empirik yang bersentuhan dengan realitas sosial dinilai mampu menggambarkan kenyataan masyarakat yang sebenarnya. Namun demikian, kriminologi tidak mampu memberikan kata akhir guna mewujudkan pencegahan kejahatan. Di sisi lain, (kebijakan) hukum pidana merupakan ilmu normatif yang membutuhkan masukan tentang fakta empirik masyarakat. Kemampuan hukum pidana terletak pada pengugeran norma melalui mekanisme yang jelas. Karena itu, kualitas norma yang diatur dalam hukum pidana bergantung kepada sejauh mana kriminologi memberikan masukan tentang realitas sosial yang perlu diatur sehingga norma hukum pidana menjadi lebih berisi.
Sejalan dengan sinergi hukum pidana dan kriminologi, Profesor Sahetapy menegaskan bahwa “... kriminologi menghidupkan dengan memberi masukan dan dorongan pada hukum pidana dan sebaliknya hukum pidana memberi bahan studi dan data kepada kriminologi mengenai pelbagai ketentuan dan ancaman pidana...”.

Tanpa sinergi keduanya, maka kriminologi tidak lebih dari ilmu empirik yang hanya menggambarkan kausa kejahatan, tanpa disertai kemampuan untuk memberikan sentuhan akhir dalam bentuk penanggulangan kejahatan. Sebaliknya, hukum pidana tanpa krimonologi menjadi kosong karena mungkin saja hukum pidana keliru memindai perilaku-perilaku masyarakat yang seharusnya diatur dalam hukum pidana.

Pengkajian kejahatan dengan menggunakan kriminologi harus selalu membumi dengan keadaan masyarakat. Dikatakan demikian karena taqlid buta terhadap konsepsi kriminologi negara maju justru menjauhkan krimiologi dan hukum pidana dari keadaan nyata masyarakat. Dalam konteks itu, pengkajian tentang kejahatan yang hendak diatur dalam hukum pidana harus selalu sejalan dengan nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural (“sobural”) masyarakat Indonesia. Dari segi nilai sosial, masyarakat selalu bergerak dalam skala nilai sosial tertentu. Adakalanya nilai sosial memiliki legitimasi yang kuat di masyarakat sehingga tidak diperlukan ancaman sanksi untuk menjaga nilai sosial tersebut. Sebaliknya, terdapat nilai sosial yang dirasakan begitu lemah di masyarakat sehingga hukum pidana dapat mempertimbangkan untuk melakukan kriminalisasi dan menerapkan sanksi pidana untuk menjaga eksistensi nilai sosial tersebut. Nilai sosial menggambarkan sesuatu yang abstrak berdasarkan sesuatu yang riil dan konkrit sehingga meliputi nilai sosial yang baik dan buruk. Dari segi aspek budaya, kriminologi menganalisis sampai sejauh mana aspek budaya mendorong kepatuhan lahiriah dalam kontekstualisasi realitas sosial termasuk di dalamnya kepatuhan terhadap lembaga hukum. Adapun faktor struktural lebih menekankan kepada raison d’etre, apakah dalam melaksanakan nilai sosial dan aspek budaya berdasarkan kesediaan tanpa pamrih ataukah berdasarkan keterpaksaan.

Sobural merupakan kesatuan konsepsi yang bertujuan untuk menyeimbangkan dimensi kehidupan sosial dalam pengaturan hukum. Dominasi nilai sosial terhadap aspek budaya justru menciptakan pengaturan represif yang mengedepankan idealitas dan mengabaikan diversitas masyarakat. UU Pornografi, misalnya, yang hanya menekankan nilai sosial di atas aspek budaya berpotensi merepresi bentuk diversitas budaya masyarakat. Dalam konteks ini, (kebijakan) hukum pidana yang terkandung dalam UU Pronografi tidak dapat melakukan tugasnya untuk mengatur masyarakat dan menyelesaikan permasalahan yang melingkupinya, tapi justru sebaliknya, menimbulkan persoalan baru yang sangat mungkin tidak dapat diselesaikan oleh hukum pidana. Oleh karena itu, dibutuhkan keseimbangan dalam sobural agar dapat menciptakan hukum pidana yang membumi.

C. Hukum Pidana: Segi Normatif dari Hukum Pidana

Berbeda dengan kriminologi yang merupakan ilmu empirik yang membicarakan kejahatan dan penyimpangan sebagai fenomena sosial, hukum pidana merupakan ilmu normatif yang melakukan perumusan in abstracto tentang perbuatan terlarang. Hukum pidana menformulasi bentuk-bentuk perbuatan yang seharusnya dilarang dan diancam dengan pidana dalam rangka menciptakan ketertiban masyarakat. Persoalan hukum pidana merupakan persoalan yang melibatkan hubungan negara dan masyarakat yang menempatkan keduanya dalam kedudukan yang sama sentralnya. Di satu sisi, hukum pidana dapat diartikan sebagai penegakan norma oleh penguasa dengan menerapkan sanksi terhadap siapapun yang melanggar aturan hukum pidana. Penegakan norma harus didahului dengan pembentukan aturan hukum yang berfungsi untuk menjaga norma tersebut. Di sisi lain, penegakan norma oleh negara dibatasi sedemikian rupa berdasarkan aturan hukum sehingga tidak melanggar hak-hak warga negara. Dengan demikian, hukum pidana dituntut untuk menjalankan fungsi dalam merekayasa hukum untuk ketertiban masyarakat serta menjaga hak-hak masyarakat dari kesewenangan negara.

Hukum pidana mengatur syarat-syarat pemidanaan dan pidana. Profesor Herbert L Packer merinci bahwa hukum pidana terdiri dari tiga prinsip dasar. Pertama, tindak pidana yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kedua, pertanggungjawaban pidana yang mengatur tentang kesalahan pembuat tindak pidana. Ketiga, pidana yang merupakan nestapa bagi pembuat tindak pidana sebagai akibat dari tindak pidana dan kesalahan. Rangkaian ketiga prinsip tersebut tidak terlepas dari prinsip keadilan yang hendak dibangun hukum pidana. Di satu sisi, pelanggar hukum harus tetap memperoleh peringatan terhadap pelanggaran norma. Di sisi lain, pengenaan pidana harus tetap didasarkan pada tindak pidana dan kesalahan pembuat sehingga pengenaan pidana harus tetap menekankan prinsip keadilan.

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh UU dan diancam dengan pidana. Penentuan tindak pidana selalu berpegang teguh kepada asas legalitas. Dengan kata lain, penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana harus didasarkan kepada peraturan tertulis yang melarang perbuatan tertentu. Dengan begitu, masyarakat memperoleh kepastian hukum tentang kewajiban normatif dan kewajiban hukum yang harus dilakukan.

Sementara itu, kesalahan yang termasuk dalam lingkup pertanggungjawaban adalah dicelanya pembuat berdasarkan penilaian masyarakat karena pembuat diharapkan dapat berbuat lain dari pada tindak pidana. Kesalahan menunjuk kepada pembuat yang mempunyai kewajiban hukum dan kewajiban normatif untuk mematuhi hukum. Penentuan kesalahan bersifat eksternal-normatif karena penilaian berasal dari masyarakat terhadap pembuat, apakah dalam keadaan tersebut pembuat dapat diharapkan mematuhi hukum? Karenanya, kesalahan (pertanggungjawaban pidana) pembuat berfungsi sebagai penyeimbang terhadap tindak pidana karena pembuat tindak pidana tidak serta merta dapat dipidana manakala dibuktikan bahwa dalam keadaan tertentu pembuat tidak dapat diharapkan berbuat selain tindak pidana.

Asas legalitas yang menjadi prasyarat bagi tindak pidana dan asas kesalahan mencerminkan prinsip-prinsip monodualistik yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu secara seimbang. Oleh karenanya, prinsip hukum pidana berorientasi kepada perbuatan dan pembuatnya (daad en daaderstrafrecht). Di satu sisi, asas legalitas memberikan kepastian hukum bagi masyarakat baik tentang aturan hukum yang dibentuk dalam rangka menciptakan ketertiban maupun tentang ancaman nestapa yang diberlakukan terhadap sebagian masyarakat yang tidak memenuhi kewajiban hukum dan kewajiban normatif. Di sisi lain, asas kesalahan dalam hukum pidana memberikan metode kepada masyarakat untuk melihat personalitas pembuat tindak pidana. Dalam konteks yang terakhir ini, masyarakat membuat penilaian normatif tentang keadaan-keadaan yang dihadapi pembuat sehingga pembuat melakukan tindak pidana. Dalam keadaan tertentu, pembuat berada dalam keadaan yang memaksanya melakukan tindak pidana sehingga tindak pidana tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Sebaliknya, dalam keadaan tertentu pembuat tindak pidana tidak menghindari tindak pidana meskipun secara kapabilitas dan kondisional pembuat dinilai dapat menghindari perbuatan terlarang.

Dengan demikian, kepentingan sosial yang tertuang dalam penetapan tindak pidana harus mempertimbangkan kesalahan pembuat sebagai dasar dalam menerapkan sanksi pidana. Dengan kata lain, sanksi tidak tunduk kepada tindak pidana yang memuat ancaman pidana tapi tunduk kepada kadar kesalahan pembuat atas tindak pidana.

Dengan mengacu kepada keseimbangan perbuatan dan pembuat, maka pemidanaan harus selalu berorientasi kepada resosialisasi terpidana. Sanksi pidana tidak dapat direduksi sebagai nestapa belaka yang diwujudkan dengan perampasan kemerdekaan, tapi pidana harus diterapkan berdasarkan karakteristik pembuat yang memungkinkan tercapainya resosialisasi terpidana untuk diterima kembali dalam lingkungan masyarakat. Dalam konteks inilah, diperlukan kebijakan pidana integratif yang mengelaborasi fungsi penghukuman terhadap pembuat dan pencegahan kejahatan. Dengan demikian, pemidanaan secara integrarif secara prinsipil memadukan berbagai macam tujuan pemidanaan yang berakhir kepada perlindungan sosial dan individu atau dengan kata lain, pemidanaan integratif dapat menjaga ketertiban sosial dan mengembalikan terpidana di tengah-tengah masyarakat.

Secara implementatif, pelaksanaan pidana integratif harus mensejajarkan pidana (straf) yang mengandung penderitaan dan tindakan (maatregel) yang mengandung unsur edukatif. Dalam konteks sistem pemidanaan dua jalur (double track system), sanksi tindakan tidak bersifat sekunder yang ditambahkan atas pidana perampasan kemerdekaan, tapi baik sanksi pidana maupun tindakan merupakan dua macam sanksi pidana pokok yang sejajar dalam hukum pidana. Dengan penggunaan sanksi pidana dan sanksi tindakan, maka pidana terhadap terpidana tidak selalu berupa perampasan kemerdekaan jika perbuatan yang dilakukan sangat sepele dan terpidana sangat mungkin disadarkan dengan sanksi tindakan.

Sejauh ini, hukum pidana Indonesia masih memandang sanksi tindakan dengan sebelah mata. KUHP hanya mengatur sanksi pidana dalam Pasal 10 KUHP berupa pidana perampasan nyawa, perampasan kemerdekaan dan denda sebagai pidana pokok. Sementara itu, sanksi tindakan hanya diperuntukkan bagi pembuat tindak pidana yang tidak mampu bertanggung jawab disebabkan penyakit jiwa untuk dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa atau pembuat tindak pidana yang belum dewasa yang diserahkan kepada pemerintah untuk mendapat pendidikan negara. Di negara-negara maju, sanksi tindakan menjadi primadona karena terbukti efektif untuk meresosialisasikan terpidana. Sementara itu, Rancangan KUHP memandang pentingnya pengaturan sanksi tindakan untuk perbuatan tertentu yang harus terlebih dahulu diatur dalam UU. Kendati demikian, pengaturan sanksi tindakan dalam RKUHP masih bersifat sekunder dan mengacu kepada sanksi pidana.

Sejalan dengan prinsip hukum pidana yang berorientasi kepada perbuatan dan pembuat, maka seyogiayanya pemidanaan juga menyeimbangkan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, serta menempatkan keduanya dalam kedudukan sejajar. Berdasarkan asas legalitas, UU mengatur perbuatan tertentu yang dihukum dengan sanksi pidana dan perbuatan tertentu lainnya dapat dipidana dengan tindakan. Sanksi tindakan muncul sebagai alternatif baru pemidanaan karena pidana penjara dinilai tidak efektif untuk tujuan-tujuan pembinaan. Justru pidana penjara menciptakan penjahat baru yang lebih terdidik dibandingkan dengan penjahat (ringan) yang pertama kali masuk penjara. Di satu sisi, sanksi tindakan dapat mengoptimalkan kemampuan terpidana untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui kerja sosial dan tindakan lain yang bermanfaat. Di sisi lain, sanksi tindakan mengurangi populasi terpidana yang melebihi kapasitas penjara yang terbatas.

Selain hukum pidana materiil yang mencerminkan fungsi primer hukum pidana dalam bentuk pengaturan hukum guna mencapai ketertiban masyarakat, hukum pidana formil justru menekankan pengaturan terhadap perilaku aparatur hukum dalam menegakkan keadilan. Dalam konteks ini, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mencerminkan fungsi sekunder hukum pidana yang membatasi ruang gerak aparatur hukum demi menjaga hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana sebagai warga negara (policing the police). Perhatian utama KUHAP adalah perlindungan hak asasi terdakwa agar tidak menjadi korban dari represi negara. Hal ini tercermin dari pergeseran dari HIR yang menekankan pengakuan tesangka/terdakwa ke KUHAP yang menekankan kepada keterangan tersangka/terdakwa. Pada pemeriksaan terhadap keterangan tersangka atau terdakwa, hak-hak tersangka atau terdakwa harus tetap dilindungi. Prinsip yang melindungi hak tersangka atau terdakwa juga tampak dalam asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent), non self incrimination dan right to remain silent.


D. Hukum Pelaksanaan Pidana

Rangkaian terakhir dari dimensi hukum pidana adalah pelaksanaan pidana yang harus tetap berorientasi kepada kepentingan terpidana untuk dapat kembali membaur dengan masyarakat. Sejauh ini, hukum pidana Indonesia tidak mempunyai pengaturan yang komprehensif tentang pola dan pedoman sanksi pidana, sehingga landasan dan hasil dari pemidanaan tidak dapat diukur dengan pasti. Pola pemidanaan menunjuk kepada usaha penyusunan sanksi pidana yang dilakukan oleh legislatif, sedangkan pedoman pemidanaan menunjuk kepada penjatuhan yang dilakukan oleh hakim dan pelaksanaan pidana yang dilaksanakan oleh Departemen hukum & HAM. Dengan demikian, sanksi pidana mewarnai setiap proses dari sistem peradilan pidana.

Dapat dikatakan bahwa penerapan pidana diabaikan dalam hukum pidana Indonesia. Hukum tidak menyediakan pengaturan tertulis secara komprehensif tentang pelaksanaan pidana sehingga kontrol terhadap pelaksanaan pidana relatif terabaikan. Kenyataan ini berpotensi menimbulkan pelanggaran hak-hak terpidana karena tidak adanya pengaturan yang membatasi pelaksanaan pidana. Manfaat lain dari pedoman pemidanaan adalah melakukan kontrol yang intensif atas perkembangan terpidana selama menjalani sanksi pidana. Badan pelaksana (lembaga pemasyarakatan) dapat menerapkan sanksi pidana sesuai dengan putusan pengadilan, manakala terpidana tidak menunjukkan perkembangan positif selama menjalani pidana. Sebaliknya, badan pelaksana dapat memberikan pengurangan hukuman manakala terpidana menunjukkan perkembangan positif berdasarkan data-data obyektif sehingga dimungkinkan dilakukannya resosialisasi sebelum masa hukuman selesai. Hal ini perlu dilakukan karena tujuan utama pidana adalah mengupayakan resosialisasi terpidana agar bersama dengan masyarakat dapat menjaga ketertiban sosial. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengaturan yang lebih komprehensif karena UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan tidak menyediakan perangkat yang memadai untuk melaksanakan pidana integratif yang menyeimbangkan penderitaan nestapa kepada terpidana dan resosialisasi terpidana di tengah-tengah masyarakat. Perhatian sistem pemasyarakatan masih menitikberatkan kepada persoalan administratif dan tidak memberikan dasar-dasar yang logis terkait dengan pengurangan pidana (remisi).


E. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka sepatutnya syarat syarat pemidanaan dan pidana harus didasarkan pembahuruan hukum pidana. Hal ini juga termasuk pelaksanaan pidana yang tidak lagi diorientasikan kepada penghukuman semata melainkan juga didasari tujuan resosialisasi terpidana.

Oleh karena itu, spektrum hukum pidana harus selalu bertaut sejak kebijakan pidana itu dibuat agar sejalan dengan arah pembaharuan hukum pidana nasional sehingga dilahirkan pengaturan yang komprehensif yang bertujuan untuk memenuhi fungsi hukum pidana dan memperhatikan kemampuan badan pelaksana keadilan.

Namun di atas itu semua, hukum pidana tetap berpijak pada upaya memanusiakan manusia karena, sebagaimana diungkapkan oleh profesor Sudarto, bahwa hukum pidana tidak bisa dilepaskan dari manusia, oleh karenanya hukum pidana harus tetap berorientasi kepada manusia dan menjaga kasih sayang terhadap manusia.


 Makalah ini disampaikan dalam Pelatihan Dasar Bantuan Hukum (PDBH) yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam di Graha Insan Cita, Depok Jawa Barat tanggal 18 April 2009.

 Advokat di Jakarta, menyelesaikan studi hukum dengan kekhususan hukum pidana di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 2004. Saat ini menyelesaikan program Pasca Sarjana dengan kekhususan sistem peradilan pidana di Universitas Indonesia.

Sudarto, Sumbangan Kriminologi untuk Politik Hukum Pidana, dalam: Hukum dan Hukum Pidana,(Bandung: Penerbit Alumni, 1986)hlm. 150-151.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan KUHP Baru, (Jakarta: Penerbit Prenada Kencana,2008) hlm. 19-24. Dalam berbagai literatur, kebijakan hukum pidana lazim juga disebut dengan politik hukum pidana.

Marc Ancel, Social Defence: A Modern Approach to Criminal Problem, (London: Routledge & Kegan Paul, 1965), hlm. 4-5

GP Hoefnagels, The Other Side of Criminology, (Kluwer Deventer, 1973), hlm. 57

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 159; Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm 20

Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
Ibid, hlm. 26.

Dapat dilihat Pasal 223 Rancangan KUHP tahun 1991/1992 (sampai Bulan Maret 1993).

Barda Nawawi Arief, Masalah Sihir atau Santet dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, dalam : Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 291-300.

Kasus tersebut dapat dilihat dalam perkara nomor 446/Pid/B/2008/PN KRW. Dalam persidangan, Penulis yang menjadi kuasa hukum terdakwa mengkritik penilaian PPATK terhadap transaksi keuangan yang dilakukan terdakwa yang tidak didasarkan kepada keadaan faktual untuk menentukan adanya transaksi mencurigakan. Sementara itu, kepolisian menyebutkan adanya tindak pidana pencucian uang hanya didasarkan pada hasil pemeriksaan PPATK. Keterangan ahli dari PPATK mengakui bahwa penilaian PPATK didasarkan pada asumsi.

Penulis menggolongkannya sebagai dekriminalisasi, bukan depenalisasi karena Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat sehingga tidak dapat diberlakukan dan tidak memungkinkan adanya mekanisme dengan menggunakan hukum perdata atau administrasi untuk menerapkan pasal tersebut. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka tindak pidana yang diatur dalam Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP tidak lagi menjadi tindak pidana. Dalam hal depenalisasi, maka pidana yang dicabut tapi masih memungkinkan untuk menggunakan Pasal tersebut dengan mekanisme hukum perdata ataupun hukum administrasi negara.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 6 Desember 2006, hlm. 58
JE Sahetapy, Pisau Analisis Kriminologi, Pidana pengukuhan Guru Besar dalam Kriminologi disampaikan di Universitas Airlangga pada tanggal 30 Juli 1983.

Sobural merupakan akronim dari Nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural. Tujuan utama konsepsi sobural adalah agar kriminologi dan hukum pidana didasarkan kondisi riil masyarakat sehingga mekanisme penanggulangan kejahatan dan asas hukum benar-benar lahir dari kenyataan sosial yang berkembangan di masyarakat. Oleh karena, konsepsi dan teori kriminologi yang populer di negara barat harus lebih dulu ditakar untuk diterapkan di Indonesia. Konsepsi ini diperkenalkan oleh Profesor Sahetapy pada pidato pengukuhan guru besar beliau dalam bidang kriminologi di Universitas Airlangga.

JE Sahetapy, Sobural: Sebuah Konsep Kriminologis, dalam: Pisau Analisis Kriminologi, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bhakti, 2005), hlm. 68.

JE Sahetapy, Pemahaman “Sobural”, dalam: Pisau Analisis Kriminologi, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bhakti, 2005), hlm. 82-84.
Edwin Sutherland, Donald Ray Cressey & David F Luckenbill, Principles of Criminology, (Lanham: Altamitra Press, 1992), hlm. 3 eleventh Edition.

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) terjemahan Tristam Pascal Moeliono

Herbert L Packer, The limit of the Criminal Sanction,(Palo Alto: Stanford University Press,1968).
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1993);

Chairul Huda, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006)

Pandangan hukum pidana yang berorientasi kepada perbutan dan pembuat (daad en daaderstraafrecht) merupakan elaborasi dari pandangan hukum pidana yang telah ada sebelumnya, yaitu hukum pidana yang menekankan kepada perbuatan sebagai alasan pemidanaan (daad straafrecht) dan hukum yang menekankan kepada pembuat sebagai alasan pemidanaan (daader straafrecht). Tentang perkembangan diskursus tersebut, dapat dilihat dalam Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1986).

Ibid, hlm 60-61
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).

Pasal 101 dan seterusnya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 2008.
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983)

Selasa, 10 Februari 2009

PEMBERANTASAN KORUPSI EKSTENSIF

Kendati pemberantasan korupsi menjadi prasyarat utama dalam membangun negara domokratis, namun penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi harus tetap mengedepankan penegakan hukum yang berkeadilan. Tuntutan dan harapan yang begitu besar dari masyarakat melahirkan dilema dalam pemberantasan korupsi. Di satu sisi, masyarakat sudah terlalu lelah dengan maraknya korupsi sehingga mengharapkan dilakukannya cara-cara luar biasa untuk membasmi korupsi. Di sisi lain, tuntutan dan harapan tersebut ditanggapi oleh aparat hukum secara tidak proporsional yang mengakibatkan terjadinya penegakan hukum yang melanggar prinsip-prinsip umum yang berlaku di bidang hukum (pidana)

Tulisan ini bermaksud meluruskan penegakan hukum secara ekstensif yang yang tidak mengindahkan prisnip-prinsip umum yang berlaku di bidang hukum, tanpa mengurangi substansi bahwa pemberantasan korupsi menjadi konsensus umum untuk membangun negara yang sehat. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa pemberantasan korupsi dapat diterapkan secara efektif berdasarkan prinsip hukum meskipun cara yang digunakan bersifat luar biasa.

Setidaknya terdapat dua indikasi pemberantasan korupsi ekstensif yang bertentangan dengan prinsip hukum. Pertama, kriminalisasi kebijakan negara (staatsbeleid) yang seharusnya tidak termasuk dalam lingkup hukum pidana, tapi termasuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN) yang diputus dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kasus pengucuran fasilitas diskonto (fasdis) kepada 18 bank yang melibatkan 3 (tiga) mantan direksi BI merupakan salah satu contoh kriminalisasi kebijakan negara. Dalam kasus tersebut, ketiga mantan direksi diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena mengucurkan fasdis yang merugikan keuangan negara. Pengucuran tersebut merupakan kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh BI untuk mencegah gejolak masyarakat sebelum dilaksanakannya Sidang Umum MPR.

Pengucuran fasdis merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang diterbitkan oleh lembaga pemerintahan (termasuk BI) di luar lembaga legislatif dan yudikatif. Untuk dapat diancam dengan pidana, HAN membatasi bahwa hanya dalam keadaan tertentu saja KTUN dapat diancam dengan pidana. Berdasarkan perspektif HAN, kebijakan negara dipertanggungjawabkan secara administratif sepanjang kebijakan tersebut didasarkan aturan beserta peruntukannya dan wewenang yang lahir dari aturan. Sepanjang kebijakan didasarkan atas aturan tertulis dan dilaksanakannya berdasarkan diskresi yang diberikan oleh UU serta digunakan sesuai dengan peruntukannya, maka tidak ada alasan bagi hukum pidana untuk mengkriminalisasi kebijakan tersebut karena pertanggungjawabannya bersifat administratif yang diselesaikan oleh PTUN manakala terjadi penyimpangan dalam pembuatan kebijakan.

Hukum pidana baru dapat mengkriminalisasi kebijakan negara manakala penyimpangan kebijakan bersifat mal administratif yang mengandung tindak pidana sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pembatasan ini sangat limitatif karena tidak semua penyimpangan administratif melahirkan mal administrasi. Dalam konteks ini, perbuatan mantan direksi BI tidak dapat dikategorikan tindak pidana jika KTUN dilaksanakan sesuai dengan aturan, wewenang dan peruntukannya. Untuk dapat dipidana, pengadilan harus membuktikan apakah mantan direksi BI mengambil keuntungan ilegal dari pengucuran fasdis seperti, misalnya, setoran ilegal kepada mantan direksi BI agar bank tertentu mendapat fasdis padahal tidak memenuhi syarat. Sepanjang fakta (keuntungan ilegal) tidak dapat dibuktikan, maka perbuatan mantan direksi termasuk kebijakan negara yang tidak dapat dikriminalisasi meskipun bank penerima menyalahgunakan fasdis yang mendatangkan kerugian bagi negara. Dalam keadaan demikian, tindak pidana terletak pada penerima fasdis bukan pada pemberi fasdis.

Kedua, pemberantasan korupsi secara ekstensif tidak memperhatikan asas lex specialis derogat legi generali yang terkandung dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP dan Pasal 14 UU Tindak Pidana Korupsi (UUTPK). Doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus mengabaikan ketentuan yang bersifat umum sehingga aturan khusus saja yang diterapkan. Kekhususan aturan dilihat apakah aturan khusus memuat semua bestanddeel delict dalam aturan umum ditambah satu unsur baru (kekhususan logis) atau apakah ketentuan dalam aturan khusus mempunyai hubungan normatif dengan aturan umum (kekhususan sistematis). Dalam hal kekhususan logis, terdakwa masih bisa didakwa dengan aturan umum, namun dalam kekhususan sistematis terdakwa harus didakwa dengan aturan khusus karena dakwaan dengan aturan umum dapat mengakibatkan lepas dari tuntutan hukum.

Kasus ECW Neloe menjadi contoh pelanggaran asas kekhususan sistematis. Kalaupun Neloe melakukan tindak pidana, pemeriksaan judisial seharusnya merujuk kepada UU Perbankan, apakah ada pasal UU perbankan yang dapat diterapkan karena tindak pidana tersebut terjadi di bidang perbankan. Dalam pertimbangan putusan, pengadilan seharusnya menjelaskan penggunaan UU Perbankan sebagai aturan khusus, karena UUTPK baru dapat diterapkan manakala tidak ada pasal dalam UU Perbankan yang dapat digunakan. Penggunaan UUTPK, padahal UU Perbankan dapat diterapkan, seharusnya mengakibatkan Neloe diputus lepas dari tuntutan hukum.

Dalam konteks ini, UU Perbankan adalah kekhususan sistematis dari UUTPK karena keduanya mempunyai hubungan normatif, yaitu larangan merugikan keuangan negara. Perbedaannya terletak pada pengaturan UU Perbankan yang hanya mengkhususkan tindak pidana di bidang perbankan, sedangkan UUTPK berlaku umum terhadap semua tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali yang tercantum dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP, maka UU Perbankan yang harus digunakan dalam perkara Neloe. Asas ini juga diperkuat dengan Pasal 14 UUTPK yang secara a contrario disimpulkan bahwa sepanjang UU Perbankan tidak menyatakan perbuatan yang diatur sebagai korupsi, maka UU Perbankan yang diberlakukan.

Uraian di atas hanyalah sebagian dari penegakan hukum ekstensif disebabkan orientasi penegakan yang lebih menekankan pemidanaan berat sehingga UUTPK dianggap sebagai UU Sapu Jagat yang dapat “dipaksakan” terhadap tindak pidana apapun. Menurut pengamatan penulis, tindak pidana di luar KUHP telah menerapkan ancaman sanksi yang sama beratnya dengan UUTPK sehingga dapat memberikan efek jera yang sama dengan UUTPK. Akhirnya, perlu penulis sampaikan bahwa pemberantasan korupsi harus selalu sejalan dengan prinsip hukum, karena keberadaan asas hukum tidak akan mereduksi semangat pemberantasan korupsi, justru sebaliknya, asas hukum dapat memberikan legitimasi kuat bagi pelaksanaan hukum yang berkeadilan. Jadi berantas korupsi dengan cara luar biasa yang berdasarkan asas hukum.

Senin, 15 Desember 2008

Kasus Pencucian Uang Aparat Pajak Dakwaan Jaksa Dinilai Lemah

Karawang -- Dakwaan tim jaksa penuntut umum terhadap kasus pencucian uang Rp 4,6 miliar dinilai lemah. Mohammad Ainul, penasihat hukum salah satu terdakwa, Yudi Hermawan, mengatakan dakwaan jaksa terhadap kliennya sama sekali tidak berdasar. "Dakwaan itu sangat lemah, dalam persidangan sama sekali tak terbukti ke arah itu," kata Ainul. Senada dengan itu, Suminto, penasihat hukum dua terdakwa lainnya, Handaru Ismoyojati dan Agi Sugiono, mengatakan, dalam dakwaannya, jaksa tidak mampu membuktikan adanya tindak pidana.

Pernyataan itu terungkap dalam sidang kasus pencucian uang yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, dan konsultan pajak. Dalam persidangan terhadap Yudi Hermawan kemarin, majelis hakim yang diketuai Sirande Palayukan mencecar asal-usul uang Rp 1,5 miliar yang masuk ke rekening Yudi. Uang itu ditransfer melalui Bank BNI 46 Cabang Karawang pada 21 Juli 2007. Diduga uang berasal dari komisi pajak PT Firstmedia Tbk, yang semula bernama PT Broadband Multimedia.

Yani Rachmawati, istri Yudi Hermawan, berkukuh uang yang dikirimkan oleh suaminya berasal dari Pengurus Cabang Muhammadiyah Rengasdengklok. Semula Yani mengaku tidak tahu asal-muasal uang. Namun, belakangan dia menyatakan duit tersebut telah disetujui dalam rapat Pengurus Cabang Muhammadiyah. Uang dari rekening Yudi itu lalu dititipkan kepada dirinya. Rapat pengurus juga menyetujui uang itu dibelikan aset berupa 8 hektare sawah, toko, serta operasional pesantren dan sekolah.

Jaksa Yogiswara menolak berkomentar tentang dakwaan yang dinilai lemah. “Saya tidak mau berkomentar, tanya saja ke Kepala Seksi Pidana Umum,” katanya kemarin.

Kasus ini bermula saat tiga tersangka memeriksa pajak terutang PT First Media sebesar Rp 70 miliar. Setelah pemeriksaan berakhir pada April 2007, Yudi memperoleh dana Rp 6 miliar dalam bentuk valuta asing dari konsultan pajak Asri Harahap.NANANG SUTISNA

Koran Tempo tanggal 4 Desember 2008