Senin, 15 Desember 2008

Kasus Pencucian Uang Aparat Pajak Dakwaan Jaksa Dinilai Lemah

Karawang -- Dakwaan tim jaksa penuntut umum terhadap kasus pencucian uang Rp 4,6 miliar dinilai lemah. Mohammad Ainul, penasihat hukum salah satu terdakwa, Yudi Hermawan, mengatakan dakwaan jaksa terhadap kliennya sama sekali tidak berdasar. "Dakwaan itu sangat lemah, dalam persidangan sama sekali tak terbukti ke arah itu," kata Ainul. Senada dengan itu, Suminto, penasihat hukum dua terdakwa lainnya, Handaru Ismoyojati dan Agi Sugiono, mengatakan, dalam dakwaannya, jaksa tidak mampu membuktikan adanya tindak pidana.

Pernyataan itu terungkap dalam sidang kasus pencucian uang yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan, dan konsultan pajak. Dalam persidangan terhadap Yudi Hermawan kemarin, majelis hakim yang diketuai Sirande Palayukan mencecar asal-usul uang Rp 1,5 miliar yang masuk ke rekening Yudi. Uang itu ditransfer melalui Bank BNI 46 Cabang Karawang pada 21 Juli 2007. Diduga uang berasal dari komisi pajak PT Firstmedia Tbk, yang semula bernama PT Broadband Multimedia.

Yani Rachmawati, istri Yudi Hermawan, berkukuh uang yang dikirimkan oleh suaminya berasal dari Pengurus Cabang Muhammadiyah Rengasdengklok. Semula Yani mengaku tidak tahu asal-muasal uang. Namun, belakangan dia menyatakan duit tersebut telah disetujui dalam rapat Pengurus Cabang Muhammadiyah. Uang dari rekening Yudi itu lalu dititipkan kepada dirinya. Rapat pengurus juga menyetujui uang itu dibelikan aset berupa 8 hektare sawah, toko, serta operasional pesantren dan sekolah.

Jaksa Yogiswara menolak berkomentar tentang dakwaan yang dinilai lemah. “Saya tidak mau berkomentar, tanya saja ke Kepala Seksi Pidana Umum,” katanya kemarin.

Kasus ini bermula saat tiga tersangka memeriksa pajak terutang PT First Media sebesar Rp 70 miliar. Setelah pemeriksaan berakhir pada April 2007, Yudi memperoleh dana Rp 6 miliar dalam bentuk valuta asing dari konsultan pajak Asri Harahap.NANANG SUTISNA

Koran Tempo tanggal 4 Desember 2008

Selasa, 19 Agustus 2008

PERBUATAN DALAM HUKUM PIDANA

Secara prinsipil, eksistensi hukum pidana bertujuan untuk menjaga ketertiban sosial dalam masyarakat yang dituangkan dalam pelbagai peraturan yang memerintahkan orang untuk tidak melakukan sesuatu dan melarang seseorang untuk melakukan sesuatu. Ini merupakan gambaran sederhana dari implementasi tujuan hukum pidana yang harus melewati tiga fase, yaitu perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan.[1] Dengan kata lain, implementasi tujuan hukum yang menjaga ketertiban dituangkan dalam aturan hukum yang menentukan suatu perbuatan yang dilarang, memutuskan barang siapa yang dianggap mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dan bagaimana nestapa atas perbuatan tersebut ditimpakan kepada pembuatnya.Pembahasan pertama berkaitan dengan perbuatan pidana didahului dengan pembahasan tentang perbuatan lantaran suatu perbuatan tidak serta merta dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Dari sini muncul pertanyaan apakah perbuatan dalam hukum pidana sama dengan perbuatan yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari? Apa perbedaan perbuatan dan perbuatan pidana?A. KELAKUAN/TINGKAH LAKU (GEDRAGING)Berbeda dengan pengertian “perbuatan” dalam kehidupan sehari-hari yang hanya mencakup gerak-gerik yang kita lakukan, “perbuatan” dalam pengertian hukum pidana memiliki arti yang lebih luas dan sekaligus lebih sempit. Dikatakan lebih luas karena dilihat dari perspektif hukum pidana, syarat yang dibutuhkan bagi terjadinya perbuatan dalam hukum pidana tidak hanya terbatas pada gerak-gerik tubuh sebagaimana dipahami dalam pengertian perbuatan sehari-hari melainkan juga meliputi perbuatan aktif (komisi) dan perbuatan pasif (omisi). Dikatakan lebih sempit karena “tidak semua tindakan (kelakuan) memiliki makna dalam hukum pidana”.[2] Bagi Hukum pidana, perbuatan dinilai memiliki makna manakala perbuatan tersebut memenuhi tiga unsur. Pertama, adanya kelakuan. Kedua, akibat yang timbul dari kelakuan, dan ketiga, keadaan yang menyertai kelakuan.[3]Sebagian ahli hukum pidana mengartikan kelakuan sebagai gerakan tubuh yang dikehendaki. Pandangan yang digolongkan dalam kelompok konservatif ini sempat mendominasi perdebatan hukum pidana. Lebih lanjut pandangan ini menyatakan, perbuatan memiliki dua aspek, aspek publik dan aspek privat. Aspek publik meliputi perbuatan yang mengandung gerakan tubuh (bodily movement). Sedangkan aspek privat meliputi mental yang terkandung dalam perbuatan.Pandangan serupa dapat ditemukan dalam kelompok yang menyatakan bahwa kelakuan adalah gerakan otot untuk melakukan sesuatu. Pandangan ini didasarkan kepada bentuk sederhana dari gerakan tubuh yang hanya dapat dilakukan dengan bantuan otot tubuh, seperti mengambil gelas, melempar batu dan lainnya.Berdasarkan perspektif konservatif, kelakuan hanya menjangkau perbuatan yang dilakukan secara aktif (komisi) dan mengabaikan perbuatan omisi yang diterima secara luas sebagai perbuatan dalam hukum pidana. Karena itu, pandangan konservatif menilai bahwa pembunuhan telah terjadi manakala seseorang menembak orang lain sampai meninggal dunia. Sebaliknya, seorang ibu yang tidak menyusui anaknya yang sedang dalam keadaan kelaparan dan membiarkannya sampai meninggal dunia tidak dianggap sebagai pembunuhan karena tidak ada perbuatan aktif (seperti memukul, mencekik) yang menyebabkan si bayi meninggal dunia.Keberatan lainnya yang diajukan kepada pandangan konservatif adalah adanya unsur mental yang melingkupi pebuatan (kelakuan). Pandangan ini terlalu prematur lantaran membicarakan unsur mental yang menjadi lingkup pertanggungjawaban pidana. Sedangkan kelakuan merupakan unsur dalam suatu perbuatan yang menjadi prasyarat bagi perbuatan pidana.Hyman Gross[4] mengemukakan beberapa keberatan terhadap pandangan konservatif. Pertama, beberapa perbuatan (pidana) tidak mengandung gerakan tubuh sebagaimana halnya seorang ibu yang mengabaikan anaknya sehingga meninggal dunia. Kedua, beberapa perbuatan (pidana) tidak melibatkan gerakan tubuh bahkan pelaku perbuatan tersebut tidak mempunyai tubuh (fisik) manusia. Modernitas hukum pidana memungkinkan subyek hukum pidana tidak terbatas pada sisi fisiologis yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya subyek hukum pidana melainkan juga menjadikan korporasi ataupun negara sebagai pelaku kejahatan polusi ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Ketiga, dengan sedikit pengecualian, gerakan tubuh yang khusus tidak dipersyaratkan untuk mewujudkan delik. Bahkan, masih menurut Gross, hanya sedikit perbuatan (pidana) yang menyaratkan adanya gerakan tubuh seperti perkosaan.
Pendapat konservatif ini juga dapat kita temukan dalam perdebatan hukum pidana di negeri Belanda. Simon dan van Hamel memandang kelakuan sebagai gerakan otot yang dikehendaki yang ditujukan untuk menimbulkan suatu akibat. Pendapat ini ditentang oleh Pompe karena kadangkala perbuatan pidana tidak memerlukan gerakan otot. Kendati demikian, kelakuan dalam pengertian positif tidak dapat dilepaskan dari gerakan otot. Karenanya, Pompe mansyaratkan tiga hal dalam memahami makna kelakuan. Pertama, kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang. Kedua, kejadian tersebut harus nampak keluar dan ketiga, harus ditujukan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum.[5] Namun demikian, persyaratan yang diajukan Pompe memasukkan unsur akibat dalam kelakuan, unsur mana seharusnya dipisahkan dari kelakuan. Hal ini dapat disimpulkan dari titik beratnya yang terletak dalam sebuah kejadian. Moeljatno menyarankan pengertian yang lebih sederhana dengan mengganti gerakan tubuh (jasmani) menjadi sikap jasmani yang dinilai lebih sesuai untuk pengertian kelakuan.[6] Dengan begitu, pengertian sikap jasmani tidak hanya mencakup kelakuan positif yang diwujudkan dalam gerakan tubuh melainkan juga meliputi kelakuan negatif.Selain itu, sikap jasmani tersebut harus disadari dalam pengertian yang negatif, yaitu sikap jasmani yang betul-betul tidak disadari tidak termasuk dalam kelakuan. Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan “…meskipun disadari, tetapi kalau dalam timbulnya, orangnya yang bersangkutan sama sekali tidak mengadakan keaktifan, melainkan hanya pasif saja, maka tidak termasuk di situ”.[7] Berdasarkan pengertian tersebut, Moeljatno mengecualikan beberapa sikap jasmani sebagai kelakuan, antara lain sikap jasmani yang tidak dikehendaki oleh orang yang dipaksa, gerakan reflek dan sikap jasmani yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar.Dalam perspektif dualistis yang memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, pendapat tentang kelakuan yang harus disadari membutuhkan penjelasan lebih mendalam. Hal ini berkaitan dengan kesadaran yang menjadi salah satu sebab terjadinya kelakuan sebagaimana tampak dalam pengecualian yang dikemukakan oleh Moeljatno. Karena itu, hukum pidana yang mengedepankan prinsip-prinsip dualistis tentang delik harus menggarisbawahi bahwa makna “disadari” ataupun kehendak yang terkandung dalam kelakuan bukanlah bagian dari unsur melawan hukum (subyektif) yang menjadi unsur dari perbuatan pidana dan bukan pula unsur pertanggungjawaban pidana. Makna “disadari” ataupun kehendak harus dimaknai dalam pengertian sehari-hari untuk mencegah kerumitan hukum pidana. Pengabaian terhadap makna “disadari” maupun kehendak berdasarkan pengertian sehari-hari menempatkan seseorang yang melakukan sesuatu di bawah paksaan orang dalam posisi problematik guna menentukan ada atau tidak adanya kelakuan lantaran pelaku tidak menghendaki perbuatan tersebut. Dengan pengertian sehari-hari, pelaku tetap dipandang melakukan perbuatan yang disadari meskipun relevansinya dalam hukum pidana ditentukan berdasarkan hubungan antara pemaksa dan orang yang dipaksa sebagaimana dipahami dalam konteks suruh lakukan (doen plegen). Di satu sisi, kelakuan tanpa disadari adalah pendapat yang tidak lazim karena hanya mengutamakan sisi fisik dan mengabaikan sisi psikis. Sedangkan di sisi lain, dibutuhkan diferensiasi yang tegas untuk membedakan kesadaran/kehendak dalam kelakuan dan kehendak yang termasuk dalam pertanggungjawaban pidana.Adakalanya penting dalam pandangan penulis untuk membedakan kelakuan yang disadari dan kelakuan yang dikehendaki. Dalam konteks doen plegen, seorang manus ministra adalah alat tanpa kehendak manakala melakukan perbuatan meskipun ia menyadari apa yang dilakukan. Kasus hipotetis ini berbeda dengan seseorang yang melakukan perbuatan dalam keadaan mengigau atau gerakan reflek, di mana keduanya tidak disadari (apalagi dikehendaki).B. AKIBATAkibat yang ditimbulkan dari kelakuan dapat dilihat dengan mudah dalam delik yang dirumuskan secara materiel, yaitu delik yang hanya mensyaratkan timbulnya akibat tertentu. Delik ini tidak mempersoalkan cara delik tersebut dilakukan. Konstruksi delik yang menimbulkan akibat tertentu dapat dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, delik materiel sebagaimana disinggung di atas (pasal 338 KUHP).[8] Kedua, delik culpa yang mengakibat kematian orang lain (pasal 359 KUHP)[9] atau menyebabkan luka (pasal 360 KUHP).[10] Ketiga, delik-delik yang berunsurkan keadaan yang memperberatkan pidana[11] atau delik yang dikualifikasi akibatnya[12] seperti dalam pasal 183 ayat 3.Kendati pembunuhan merupakan delik materiel, pelaksanaan perbuatan (pidana) tetap saja penting untuk menentukan adanya sebab-akibat. Langkah ini penting guna menentukan hubungan kausal antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Hukum pidana menggunakan ukuran atau kriteria tertentu untuk menentukan hubungan kausal antara perbuatan dengan matinya orang. UU tidak menjelaskan ukuran dan kriteria tersebut. Sementara itu, putusan HMG dan RvJ Semarang hanya menyatakan “bahwa ada hubungan kausal antara suatu kelakuan dengan akibat yang merupakan delik, dipakai istilah akibat langsung, yakni istilah yang dipakai dalam praktek peradilan di Ned Indie”.[13] Putusan ini pun tidak memberikan penjelasan yang mendalam tentang akibat langsung.Moeljatno[14] berpendapat bahwa penentuan hubungan kausal harus didasarkan kepada semua hal ihwal keadaan yang terkandung dalam hubungan kausal. Di satu sisi, hubungan kausal harus mempertimbangkan perbuatan dan alat yang digunakan sebelum terjadinya akibat. Di sisi lain, keadaan korban yang secara obyektif turut mempengaruhi terjadinya kausalitas, keadaan mana hanya dapat ditentukan setelah akibatnya terjadi. Metodologi penentuan hubungan kausal ini disimpulkan dari kasus yang disidangkan di pengadilan Nederland pada tahun 1939.Dalam kasus itu diceritakan bahwa...“Suami A, dituduh menganiaya istrinya, yaitu memukul kepalanya dengan selop yang kemudian meninggal dunia sehingga melakukan perbuatan pidana termaktub dalam Pasal 351 ayat 3 KUHP. Yang menjadi soal ialah apakah ada hubungan kausal antara pemukulan dengan selop dan matinya istri tersebut tadi. Setelah pengadilan memeriksa barang bukti selop dan melihat bahwa benda tersebut adalah selop biasa saja, jadi misalnya bukan selop yang memakai hak tebal dan berlapis besi, memutuskan bahwa pemukulan dengan selop biasa, sekalipun dengan jarak dekat di bagian kepala, tidak mampu dan wajar untuk menyebabkan maut, sehingga perbuatan tersebut tidak adekuat kausal dengan akibat tadi, dan terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum. Karena pihak penuntut umum naik banding, maka perkara maju ke pengadilan tinggi. Di sini diadakan approach atau tanggapan lain. Bukan saja ujudnya selop dan cara memukulnya yang dimasukkan dalam pertimbangan tapi juga keadaan korban. Menurut keterangan keahlian dari dokter (visum et repertum) ternyata wanita tersbut mempunyai tulang kepala yang dinamakan “eierschedel”, tulang kepala telur, dan selop tersebut justru mengenai tempat di mana tulangnya sangat tipis. Mengingat kenyataan ini, maka menurut pengadilan tinggi si sitri adalah akibat pemukulan selop oleh terdakwa, sehingga Pasal 351 ayat 3 dapat dikenakan padanya”.[15]Selain penentuan kausalitas berdasarkan keadaan perbuatan, akibat dan keadaan korban, kasus tersebut menyimpulkan bahwa ukuran adalah akal atau logika ilmu pengetahuan.C. KEADAAN YANG MENYERTAI PERBUATANSyarat ketiga bagi terjadinya perbuatan adalah keadaan yang menyertai perbuatan. Secara umum, setiap delik memuat unsur ini. Pencurian, misalnya, dikatakan telah teradi apabila barang yang diambil adalah “milik orang lain” yang dalam hal ini disebut sebagai keadaan yang menyertai perbuatan (pengambilan barang).Bentuk keadaan yang menyertai perbuatan bergantung kepada rumusan delik. Selain itu, terdapat hal ihwal tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 164[16] dan 165 KUHP. Kendati keadaan tersebut hanya sebagai unsur tambahan yang terjadi setelah perbuatan dilakukan, keberadaan keadaan itu menempati peranan penting dalam merealisasikan perbuatan pidana.Apakah keadaan yang menyertai perbuatan merupakan unsur atau elemen dari perbuatan pidana? Sebagian ahli hukum pidana berpendapat bahwa keadaan tersebut merupakan unsur tambahan saja. Sedangkan van Hamel dan Simons menolak memasukkan keadaan sebagai unsur strafbaar feit. Menurut van Hamel, syarat tambahan tadi tidak mengenal strafbaarheid, sebab tidaklah mungkin bahwa suatu keadaan yang timbulnya kemudian setelah perbuatan tersebut. Juga tidak meungkin keadaan yang demikian itu menghilangkan sifat tersebut. Adapaun Simons menegaskan bahwa syarat tambaan tersebut bukan bagian dari unsur strafbaar feit yang sesungguhnya.Sementara itu, Moeljatno cenderung mengklasifikasikan keadaan tersebut sebagai syarat penuntutan artinya “meskipun perbuatan tanpa syarat tambahan tadi merupakan perbuatan yang tidak baik, namun untuk mendatangkan sangsi pidana, jadi untuk menuntut supaya pembuat dijatuhi pidana, diperlukan syarat yang berupa keadaan tambahan tadi”.[1] Herbert L. Parker,[2] Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 113[3] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta:[4] Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, (New York: Oxford university Press, 1979), hh. 48-58[5] Moeljatno, Op. Cit.[6] Ibid[7] Ibid[8] Pasal 338 KUHP menyatakan “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.[9] Pasal 359 KUHP menyatakan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”[10] Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta:Ghalia, 1995), hh. 204-9[11] Jonkers,…………, h. 68[12] Van Bemmelen,………..h. 152[13] Moeljatno, Asas-asas hukum pidana[14] Moeljatno, Membangun Hukum Pidana[15] Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, Ibid[16] Pasal 164 KUHP menyatakan “sesuatu permufakatan untuk melakukan kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, dan 108, 113, 115, 124, 187 atau 187 bis, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan tentang hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah”

AJARAN KAUSALITAS (draft)



Ajaran kausalitas mempunyai sejarah panjang dalam dunia hukum. Meski sebelumnya ajaran kausalitas lebih populer dalam ranah ilmu pengetahuan alam dan filsafat, kepopuleran kausalitas merentang dalam lintas disiplin ilmu terutama ilmu hukum dan ilmu ekonomi. Berbeda dengan ilmu alam yang melihat kausalitas secara umum, hukum melihat hubungan kausalitas dari segi partikularistik. Hukum berkonsentrasi kepada apakah A mengakibatkan terjadinya kebakaran terhadap B, dan bukan apakah A mengakibatkan kebakaran saja. Dalam ilmu ekonomi dan hukum perdata, ajaran kausalitas dipergunakan dalam membahas limitasi pertanggungjawaban atas kejahatan yang mengandung ketidakpastian kausal (causal uncertainty). [1] Kisah Erin Brockovich dapat dijadikan contoh, sebuah perusahaan minyak yang menjalankan produksinya di sekitar pemukiman masyarakat yang berangsur-angsur meninggalkan kediamannya dengan kompensasi. Beberapa tahun kemudian, masyarakat mengidap pelbagai macam penyakit yang menyebabkan meninggal dunia. Setelah diselidiki, ternyata penyebab penyakit adalah polusi dari perusahaan tersebut yang tidak melaksanakan standar baku yang ditetapkan. Ketidakpastian kausal tesebut terjadi lantaran akibat yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut tidak serta merta nampak setelah perbuatan dilakukan tetapi akibatnya baru dapat diidentifikasi beberapa waktu lamanya. Dalam konteks ini, terdapat justifikasi ekonomi untuk membatasi pertanggungjawaban pelaku atas kerusakan yang timbul.[2] Penentuan pertanggungjawaban hukum (perdata) didasarkan kepada pembagian probabilitas yang dinilai berpotensi menyebabkan akibat.Sedangkan kausal yang pasti (certain causal) lebih mudah diidentifikasi karena akibatnya muncul setelah perbuatan dilakukan. Bentuk sederhana ini mengikuti kausalitas ilmu pengetahuan alam yang digambarkan A menyebabkan B; terjadinya A menyebabkan terjadinya B.Uraian di atas merupakan sebagian dari doktrin hubungan kausalitas yang telah berlaku lama dalam hukum perdata (tort law). Doktrin tersebut diadaptasi dalam hukum pidana yang menggunakan ajaran kausalitas dalam menentukan keterkaitan antara perbuatan dan akibat.Sebelum hukum pidana mengenal ajaran kausalitas (abad 19), masyarakat memandang bahwa melukai sebagai satu-satunya sebab matinya orang. Kemudian muncul pendapat yang lebih kritis yang mengatakan tidak semua tindakan melukai orang dapat mengakibatkan kematian tetapi harus dilihat dahulu apakah luka tersebut menurut sifatnya dapat mengakibatkan matinya orang.[3]Dalam pandangan common law yang mayoritas menganut monistis, ajaran kausalitas berjalin kelindan dengan prinsip pertanggungjawaban pidana. Kendati literatur common law mengakui ajaran kausalitas terdiri dari perbuatan, akibat dan kesalahan (pertanggungjawaban pidana), pembahasan kausalitas lebih cenderung menitikberatkan pertanggungjawaban pidana secara tidak seimbang dengan perbuatan dan akibatnya. Ketidakseimbangan ini terjadi lantaran atribusi pertanggungjawaban dalam kerangka kausalitas lebih sulit dibandingkan tentang perbuatan. Eric Colvin[4] menjelaskan perlunya deferensiasi awal antara hubungan kausal dan pertanggungjawaban kausal. Menurutnya, langkah pertama adalah mencari hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat. Langkah kedua adalah melakukan atribusi pertanggungjawaban pidana kepada pelaku.[5]Sistematika dualistis yang memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana menolak penggabungan kausalitas dengan pertanggungjawaban pidana lantaran keduanya berada dalam lingkup yang berbeda. Kausalitas merupakan bagian dari bentuk perbuatan dan akibatnya sehingga lingkupnya masuk dalam perbuatan pidana. Sedangkan pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan dapat dipidananya orang. Karenanya, keduanya harus dianggap terpisah meskipun langkah kedua yang harus dilakukan untuk menjatuhkan pidana, setelah terbukti (kausalitas) perbuatan, adalah apakah perbuatan dan akibatnya dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku. A. TEORI KAUSALITAS1. Teori Conditio Sine Qua Non; But-For TestVon Buri mengawali diskursus tentang ajaran kausalitas dengan teorinya conditio sine qua non yang secara literal berarti syarat mana tidak (syarat mutlak). Teori ini tidak membedakan antara syarat dan sebab yang menjadi inti dari lahirnya berbagai macam teori dalam kausalitas. Menurut Buri, rangkaian syarat yang turut menimbulkan akibat harus dipandang sama dan tidak dapat dihilangkan dari rangkaian proses terjadinya akibat. Rangkaian syarat itulah yang memungkinkan terjadinya akibat, karenanya penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut akan menggoyahkan rangkaian syarat secara keseluruhan sehingga akibat tidak terjadi. Karena kesetaraan kedudukan setiap sebab, teori ini dinamakan juga dengan teori ekuivalen. Dengan demikian, setiap sebab adalah syarat dan setiap syarat adalah sebab.Jika kita menerapkannya terhadap kasus selop,[6] maka pendapat von Buri memiliki lingkup terlalu luas dalam mengidentifikasi sebab. Menurutnya, sebab tidak hanya tertuju kepada keadaan ataupun kejadian terdekat dengan terjadinya akibat seperti, adanya tulang kepala korban yang tipis ataupun pemukulan dengan sandal tebal, melainkan juga melibatkan rentetan kejadian yang terjadi sebelumnya termasuk penjual atau pembuat sandal. Sebagai ilustrasi, A berniat membunuh B dengan menembakkan peluru di bagian dada. Ternyata tembakan tersebut tidak membunuh B, namun A melarikan diri karena panik. Dalam perjalanannya ke rumah sakit, B berjumpa dengan C yang juga menaruh dendam kepada B. C memukul B hingga terjatuh ke dalam selokan yang berisi air kotor. C meninggalkan B. Kemudian B berhasil sampai di Rumah Sakit dan ditangani oleh dokter D. Karena kurang cermat, D memberikan obat padahal masih terdapat sisa amunisi dalam lukanya setelah dibersihkan sehingga memperburuk keadaan B. Setelah beberapa lama kemudian, B meninggal dunia.Dalam perspektif conditio sine qua non yang tidak membedakan antara syarat dan sebab, perbuatan penembakan, pemukulan, salah diagnosa dan kurang cermat dalam membersihkan luka korban merupakan serangkaian sebab yang menimbulkan akibat secara bersamaan. Hilangnya salah satu sebab dari rangkaian tersebut menyebabkan akibat tidak terjadi. Teori ini tidak melakukan pemilihan atas sebab yang dinilai paling berpengaruh terjadinya akibat. Konsekuensinya, bukan hanya A, C dan D yang adekuat dengan akibat melainkan juga meliputi (pembuat) peluru dan senapan karena kedua alat tersebut turut mengakibatkan matinya korban.Rangkaian tak terputus dalam teori conditio sine qua non menjadi satu kelemahan tersendiri. Salah satu pembela teori ini, van Hamel, menyarankan agar penggunaan teori conditio sine qua non disertai dengan ajaran tentang kesalahan untuk melekatkan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang dipandang paling potensial dalam menimbulkan akibat. Teori conditio sine qua non disamakan dengan but-for test dalam literatur hukum anglo America. [7] Lebih khusus lagi, pandangan van Hamel serupa dengan pandangan yang dikemukakan oleh Hart dan Honoré yang menggabungkan but-for cause dengan proximate cause dalam menentukan hubungan kausalitas. Menurutnya, pendekatan dua sisi, but-for cause dan proximate cause, sangat berguna untuk menjaring fakta-fakta yang berperan dalam terjadinya akibat yang dilanjutkan dengan pembatasan tanggung jawab.[8]Lebih lanjut, Hart dan Honoré menjelaskan bahwa kebanyakan ahli hukum mendasarkan pengertian sebab-akibat pada pengertian sehari-hari. Kerap kali masyarakat memandang sesuatu yang mengubah hal tertentu dari status quo sebagai bagian dari hubungan kausalitas. Dalam konteks ini, Hart dan Honoré menganggap teori but-for sebagai cara yang sederhana dalam menentukan hubungan kausalitas antara pelaku dan kejahatan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kejahatan tersebut dalam keadaan tertentu dapat terjadi tanpa adanya pelaku (agency). Jika kejahatan terjadi, maka barang kali pelaku bisa menjadi salah satu sebab atau bukan merupakan sebab dari kejahatan-kejahatan tersebut. Namun sebaliknya, apabila kejahatan tidak terjadi tanpa adanya pelaku, maka pelaku dipastikan menjadi syarat yang relevan secara kausal dengan terjadinya akibat atau dalam bahasa minimalisme kausal disebut cause-in-fact dari kejadian tersebut.[9]Honoré sendiri menyadari bahwa cakupan teori but-for yang luas menyulitkan pemilihan syarat yang adekuat (sebab) dengan akibat.[10] Terminologi kausalitas yang biasa digunakan dalam keseharian mereka serta penerapan mekanisme ilmu alam meniscayakan rentetan peristiwa tanpa putus sebelum terjadinya akibat. Dengan demikian, hukum menemui kesulitan dalam menentukan sebab yang adekuat dengan akibat lantaran rentetan syarat tersebut merupakan suatu keharusan (if and only if).Teori but-for juga menemukan kesulitan tatkala dihadapkan kepada kasus kausalitas di bawah tekanan (over determination) dan determinasi yang dilakukan secara bersamaan (joint determination). Salah satu contoh kasus overdetermination dapat ditemukan dalam kasus doen plegen yang menempatkan pelaku sebagai manus ministra. Seorang pegawai pos, misalnya, mengantar bungkusan berisi bom yang meledakkan rumah A. Pegawai pos tidak mengetahui isi bungkusan tersebut dan oleh karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. But-for test memandang pengiriman sebagai sebab yang secara intuitif menimbulkan akibat (ledakan bom). Namun atribusi pertanggungjawaban tidak dapat dilekatkan kepada pelaku sehingga tidak terjadi hubungan kausalitas.Berbeda dengan cause in fact yang didasari pengertian sehari-hari tentang kausalitas, pertanggungjawaban yang dilekatkan kepada pelaku didasarkan kepada pengertian hukum. Tanggung jawab ini membatasi cakupan cause in fact yang terlalu luas dan memutuskan adanya hubungan kausalitas berdasarkan atribusi tanggung jawab tersebut.[11] Dalam perspektif monistis, pandangan ini tidak menemui kejanggalan, khususnya penganut teori conditio sine qua non yang memandang hubungan kausalitas terjadi manakala terdapat cause in fact dan pembatasan tanggung jawab yang tertuang dalam proximate cause yang bertujuan melakukan filterisasi atas ekuivalensi syarat dengan pembedaan syarat dan sebab. Dengan kata lain, “syarat yang paling dekat dengan akibat”[12] adalah sebab.Kombinasi cause in fact dan proximate cause merupakan sebuah keharusan untuk membatasi rangkaian kausalitas tanpa batas yang dipahami oleh conditio sine qua non ataupun but-for test. Kendati terdapat kelemahan dalam teori conditio sine quo non terutama bagi pandangan dualistis, teori ini sangat populer di Amerika Serikat sebagaimana tertuang dalam Model Penal Code (MPC) yang secara tegas menyatakan teori ini sebagai acuan dalam menentukan adanya kausalitas. MPC mendefinisikan but-for test sebagai “conduct is the cause of a result when: (a) it is an antecedent but for which the result in question would not have occurred. . .”[13]. Sementara itu, pedoman proximate cause guna membatasi kausalitas ditegaskan dalam the Book of Approved Jury Instructions (“BAJI”) yang merekomendasikan standar instruksi bagi para juri dalam meutuskan hubungan kausalitas dan pertanggungjawaannya, yaitu “A proximate cause of injury is a cause which . . . produces the injury and without which the injury would not have occurred”[14].2. Teori Peramalan Subyektif (Subjective Prognose)Selanjutnya proximate cause dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertanggungjawaban terhadap hubungan kausalitas prospektif dan pertanggungjawaban terhadap hubungan kausalitas retrospektif.[15] Hubungan kausalitas prospektif yang disebut juga dengan teori peramalan subyektif menyimpulkan adanya hubungan kausalitas dari dugaan menurut akal sehat tentang sebab yang dapat menimbulkan akibat. Hubungan kausalitas disimpulkan secara subyektif berdasarkan ukuran-ukuran umum menurut akal sehat terhadap orang yang dinilai paling berpotensi bertanggung jawab atas terjadinya akibat. Dikatakan subyektif karena akibat tidak didasarkan kepada keadaan-keadaan obyektif dari hubungan kausal melainkan didasari dugaan atas peristiwa yang lazim terjadi secara ante factum. Selain itu, penentuan adanya kausalitas ditentukan juga dengan pengetahuan terdakwa tentang kemungkinan terjadinya akibat dari perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, pelaku yang tidak mengetahui kemungkinan terjadinya akibat dari pebuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas tadi. Pembenaran teori ini dapat dilihat dari keputusan Privy Council dalam kasus Wagon Mound yang menyatakan, “...if it is asked why a man should be responsible for natural or necessary or probable consequences of his act (or any similar description of them) the answer is that it is not because they are natural or necessary or prabable, but because, since they have this quality, it is judged by te standard of the reasonable man that he ought to have foreseen them”.[16]Subyektifitas dalam menentukan hubungan kausalitas yang didasari perkiraan akal sehat mempunyai kelemahan tersendiri terutama terkait dengan keterbatasan akal yang hanya mengetahui peristiwa-peristiwa yang lazim terjadi. Karenanya, sering kali teori peramalan subyektif mengabaikan fakta-fakta penting yang menyebabkan terjadinya akibat dengan alasan bahwa fakta-fakta tesebut tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat diketahui dengan pasti menurut akal sehat. Sebaliknya, fakta-fakta tesebut malah dinilai sebagai pemutus hubungan kausalitas. Dengan kata lain, terjadinya peristiwa yang tidak sesuai dengan perkiraan akal sehat justru memutus rangkaian kausalitas meski peristiwa tersebut berperan penting dalam melahirkan akibat. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan hakim dalam kasus Robert di mana seorang gadis diserang di dalam mobil dan terluka karena melompat dari atas mobil yang sedang melaju kencang,“...was it the natural result of what the alleged assailant said an did, in the sense that it was something that could reasonably have been foreseen as a consequence of what he wa saying or doing? As it was put in the old case, it has got to be shown to be his act, and if of course the victim does something so “daft”, in the word of the appellant in the case, or so unexpected, not that this particular assailant did not actually foresee it but that no reasonable man could be expected to foresee it, that it is only in a very remote and unreal sense a consequence of assault, it is really occasiones by a voluntary act on the part of the victim which could not reasonably be foreseen and which breaks the chain of causation between the assault and te harm or injury”[17] Justifikasi atas pandangan ini ditemukan juga dalam hukum Queensland, Australia Barat dan Tazmania. Dikatakan dalam hukum Quennsland dan Australia Barat, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas yang terjadi apabila suatu peristiwa terjadi karena kebetulan (accident). Peraturan serupa ditemukan juga dalam hukum Tazmania yang menegaskan bahwa kejadian yang terjadi secara kebetulan (chance) tidak menyebabkan seseorang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.[18] Dengan demikian, hukum hanya mempertimbangkan kejadian yang lazim dalam suatu peristiwa dan mengabaikan hal-hal yang terjadi secara kebetulan yang tidak terduga oleh akal sehat.Selain dalam bidang hukum secara umum, teori peramalan subyektif mempunyai tempat yang istimewa dalam bidang hukum ekonomi karena mengedepankan probabilitas untuk mencegah kerugian ekonomis. Kendati demikian, analisis ekonomis yang mempengaruhi paradigma teori peramalan subyektif digunakan secara luas dalam kausalitas di luar bidang hukum ekonomi. Dalam konteks ini, Shavell menghubungkan terjadinya akibat dengan tingkat kehati-hatian yang ditentukan berdasarkan “...the cost of taking care and the degree to which lack of care is a cause of expected loosses”.[19] Dengan demikian, akibat dapat diduga sebelum peristiwa terjadi dengan melihat tingkat kejati-hatian yang berpotensi menimbulkan akibat. Karena bersifat ante factum, maka akibat berupa kerugian tidak harus bersifat konkrit (sudah terjadi) dan dapat dipastikan jumlah kerugiannya melainkan cukup apabila kerugian tersebut diperkirakan akan terjadi di kemudian hari. Karenanya, kemampuan pelaku untuk melakukan tindakan pencegahan menjadi tolak ukur terjadinya akibat. Pelaku yang mampu melakukan tindakan tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kausalitas yang terjadi. Sebaliknya, pertanggungjawaban atas pelaku berlaku jikalau tindakan pencegahan gagal dilakukan.Sedangkan kelayakan suatu tindakan disebut sebagai tindakan pencegahan yang memenuhi syarat kehati-hatian dilihat dari proposionalitas antara upaya kehati-hatian dan manfaat kehati-hatian. Dengan kata lain, upaya kehati-hatian harus sebanding dengan manfaat kehati-hatian yang ingin dicapai. Seorang penjaga pintu air, misalnya, mengetahui akibat banjir yang ditimbulkan oleh hujan lebat apabila ia tidak menutup semua pintu air. Namun ia hanya menutup sebagian pintu air yang mengakibatkan banjir di pemukiman warga. Tindakan penutupan sebagian pintu air tersebut bukan tindakan pencegahan yang memenuhi prinsip kehati-hatian kendati penjaga tersebut telah melakukan tindakan. 3. Teori Peramalan Obyektif (Objective Prognose)Berbeda dengan teori peramalan subyektif yang menggunakan dugaan akal sehat dan probabilitas dalam menentukan hubungan kausalitas, teori peramalan obyektif yang juga dikenal dengan dengan kausalitas retrospektif mendasarkan adanya hubungan kusalitas kepada bukti-bukti konkrit yang disimpulkan setelah terjadinya akibat (post factum). Konklusi post factum ini erat kaitannya dengan prinsip thin skull yang lahir dari kasus selop yang menunjukan syarat penentu (sebab) yang adequat dengan akibat.Teori ini mengabaikan dugaan subyektif meskipun dugaan tersebut didasarkan kepada kelaziman peristiwa yang terjadi sehari-hari. Menurut teori ini, sebuah syarat dapat disimpulkan sebagai akibat manakala peristiwa yang mengandung kausalitas telah terjadi dan secara konkrit terdapat sebab yang adequat dengan akibat. Karenanya, sebab tak terduga yang adequet dengan akibat menjadi faktor determinan terjadinya kausalitas termasuk peristiwa yang terjadi secara kebetulan (chance/accident)Prinsip thin skull merupakan alternatif yang mengecualikan prinsip umum pertanggungjawaban kausalitas. Pertanggungjawaban tersebut tidak lagi disandarkan kepada peristiwa yang lazim terjadi melainkan didasarkan kepada fakta-fakta konkrit yang disimpulkan setelah peritiwa terjadi.Moeljatno[20] menambahkan bahwa pembuktian yang digunakan dalam peramalan obyektif harus dihasilkan penelitian ilmiah yang obyektif seperti visum et repertum. Dalam kasus selop, misalnya, harus lebih dulu dibuktikan melalui visum et repertum bahwa tulang kepala korban sangat tipis sehingga rentan benturan dari benda apapun. Visum tersebut membuktikan bahwa benturan yang lembut itu dapat menimbulkan pendarahan di otak yang mengakibatkan kematian. Karena itu, pembuktiannya tidak dapat menggunakan keterangan saksi semata ataupun keterangan ahli yang menganalisis peristiwa yang lazim terjadi berdasarkan pengetahuan dan perspektif ahli. 4. Pandangan WrightNESS (Necessary Element in Sufficient Sets)[21] merupakan improvisasi dari teori Hart dan Honore tentang kausalitas. Menurut Wright, suatu perbuatan X atau omisi yang dapat menimbulkan akibat tertentu, maka perbuatan tersebut harus memenuhi NESS bagi terjadinya akibat. Suatu perbuatan dikatakan sebagai atau bukan sebagai NESS hanyalah persoalan faktual yang terlepas dari masalah normatif.[22] Wright mendefinisikan NESS dengan “... a particular condition was a cause of (contributed to) a specific result if and only if it was necessary element of a set of antecedent actual conditions that was sufficient for the occurence of the result”.[23] Pengertian ini memperlihatkan bahwa ajaran NESS memperhitungkan setiap syarat yang sufficient guna menentukan syarat yang bersifat necessary (sebab). Dengan adanya sebab dalam rangkaian syarat (sufficient sets), maka syarat-syarat yang tidak relevan dengan kausalitas diabaikan. Sebab (necessary) ini pula yang menentukan irrelevansi syarat dengan kausalitas. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah A yang menusuk B tepat di jantungnya yang menyebabkan kematian dianggap sebagai sebab (necessary element) yang adekuat dengan akibat (kematian), di mana sebab tersebut ada bersama dengan syarat lainnya seperti keadaan korban yang masih hidup, ketiadaan rumah sakit di sekitar kejadian yang memungkinkan dilakukannya transfusi darah yang dapat mencegah kematian dan tusukan pisau tepat di jantung korban. Ketiga hal tersebut dikualifikasi sebagai syarat (sufficient sets), namun hanya tusukan tepat di jantung korban yang dinilai sebagai sebab (necessary element) yang secara langsung menyebabkan kematian. Dengan adanya tusukan tersebut, maka syarat lainnya menjadi irrelevan dengan akibat. Contoh ini juga memperlihatkan bahwa sebab adalah specius genus dari syarat karena penusukan tepat di jantung korban merupakan syarat sekaligus sebab. Sebaliknya tidak semua syarat adalah sebab.Substansi teori ini terletak dalam dengan definisi necessary dan sufficient yang tidak cukup hanya diartikan secara literal. Marten Schultz mengartikan necessary sebagai “....a condition which, when it is in hand, brings about an effect of some sort, and where the effect would not have happened had it not been for that condition”.[24] Sedangkan sufficient diartikan dengan “...a condition which brings about the effect (the event) under other given conditions, but where such an effect did not necessarily depend on the condition at hand but could also have followed from other factors”.[25]Dalam rangka menentukan konsep sufficient dan necessary dalam NESS, Richard Fumerton dan Ken Kress yang secara khusus meneliti tentang teori ini mengklasifikasi konsep sufficient dan necessary menjadi lima bagian, yaitu dari segi formal, analistis, sintetis, dari segi hukum dan kausalitas aktual.[26]Pertama, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara formal menimbulkan akibat. Kedua, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara analitis menimbulkan akibat. Ketiga, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara sintetis menimbulkan akibat. Keempat, syarat dan sebab (necessary/suffiecient) yang secara analitis menimbulkan akibat.
[1] Robert Young, Michael Faure & Paul Fenn, Causality and Causation in Tort Law, International Review of Law and Economic 24 (2004) 504-523. Kausal yang tidak pasti (uncertainty causal) dipergunakan secara umum dalam hukum lingkungan di negara-negara common law system[2] S. Shavell, Uncertainty Over Causation and the Determination of Civil Liability, Journal of Law and Economic (1985), 587-609[3] PAF Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), h. 237 [4] Eric Colvin, Causation in Criminal Law, Bond Law Review (1989), 1[5] Hubungan kausal (causal connection) adalah hubungan antara perbuatan dan akibat yang biasa disebut juga dengan factual causation. Sedangkan pertanggungjawaban kausal (causal responsibility) disebut juga dengan imputible causation atau legal causation [6]Lihat kasus selop di bab II[7] Barbara A Spellman & Alexandra Kincannon, The Relation Between Counterfactual (“But-For”) and Causal Reasoning: Experimental Findings and Implication for Juror’s Decisions, (Law and Contemporary Problem, vol. 64. No. 4)[8] H.L.A. Hart & A.M. Honoré, Causation in the Law (2d ed. 1985).[9] (AM) Tony Honoré, Causation in the Law, Stanford Ensyclophedia of Philosophy (2001)[10] Ibid[11] Ibid[12] Jan Remmelink, Hukum Pidana[13] Model Penal Code § 2.03(1) (1985).[14] Committee on Standard Jury Instructions, California Jury Instructions Civil, Book of Approved Jury Instructions (BAJI) § 3.75 (7th ed. 1986 & supp. 1994). [15] Eric Colvin, Causation in Criminal Law, Bond Law Review (1989) [16] Overseas Thankship (UK) Ltd v Morts Dock and Engineering Co Ltd (The Wagon Mound) (1961) AC 288 at 423[17] (1971) 56 Cr App R 95 (CA) per Stephenson L J at 102.[18] Lihat Eric Colvin, Causation in Criminal Law, Bond Law Review (1989),[19] Steven Shavell (1980), ‘An Analysis of Causation and the Scope of Liability in the Law of Torts’, 9 Journal of Legal Studies, 463-516.[20] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana[21] Sebagai pedoman awal dalam memahami NESS test, penulis mencoba memadankan kata necessary dengan sebab dan kata sufficient dengan syarat yang lazim digunakan dalam hukum pidana Indonesia. Meskipun definisi tersebut tidak ditegaskan Wright dalam artikelnya, namun definisi dari pemadanan tersebut sangat berguna untuk dijadikan pedoman awal dalam memahami NESS. Pemadanan ini hanya untuk mempermudah pengertian necessary dan sufficient dengan tetap menyelaraskan pemadanan tersebut dengan pengertian yang dimaksudkan oleh Wright dalam teorinya.[22] Richard Wright, Causation in Tort Law, CAL. L. REV. 1735 (1985)[23] Richard W. Wright Causation, Responsibility, Risk, Probability, Naked Statistics, and Proof: Pruning the Bramble Bush by Clarifying the Concepts in 73 Iowa Law Review, h.1008.[24] Marten Schultz, Further Rumination on Cause-in-Fact................ , h. 9[25] Ibid, h. 10[26] Richard Fumerton & Ken Kress, Causation and the Law: Preemption, Lawful Sufficiency, and Causal Sufficiency, Law and Contemporary Problem, vol. 64 No. 4, 2001. hh. 90-4

DUALISME TENTANG DELIK: SEBUAH KECENDERUNGAN BARU DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA (draft)


Rancangan KUHP yang telah rampung dibahas oleh para ahli hukum pidana memberikan warna baru yang menekankan pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. RKUHP memisahkan unsur-unsur obyektif yang terkandung dalam perbuatan pidana dan unsur-unsur subyektif yang menjadi ranah pertanggungjawaban pidana sehingga keduanya terlepas dari lainnya dan diterapkan secara serial untuk dijadikan dasar pemidanaan. Pemisahan tersebut tidak dijumpai dalam KUHP sekarang yang memasukkan kesalahan (dalam arti luas) sebagai unsur subyektif dalam perbuatan pidana.Kendati mayoritas ahli hukum pidana menganut pandangan monistis tentang delik yang menyatukan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, namun perubahan paradigma baru dalam RKUHP dari monistis[1] kepada dualistis[2] mengindikasikan adanya proyeksi baru hukum pidana di masa mendatang dan memungkinkan pendalaman terhadap pandangan dualistis tentang delik. Langkah ini penting mengingat perubahan mendasar dalam RKUHP dapat melahirkan konsekuensi dalam melakukan analisis hukum pidana.Tulisan ini mencoba mengeksplorasi akar pertentangan antara pandangan monistis dan dualistis, pengaruh kedua pandangan tersebut dalam hukum pidana Indonesia dan kecenderungan baru dalam hukum pidana yang tertuang dalam legislasi di Indonesia. Tulisan ini juga akan menjelaskan pandangan dasar monistis dan dualistis untuk menganalisis keunggulan dan kelemahan konseptual maupuan teoritik guna menguatkan asumsi adanya kecenderungan baru dalam hukum pidana di Indonesia.A. MONISTIS DAN DUALISTIS1. MONISTISPerbedaan mendasar dari pertentangan antara monistis dan dualistis tentang delik terletak dalam pembahasan mengenai perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Kendati terdapat banyak perbedaan lainnya yang mewarnai perdebatan antara monisme dan dualisme, akar persoalan tersebut berasal dari unsur-unsur delik, makna kelakuan (plegen) dan kepembuatan (daderschap), dan pertanggungjawaban pidana sehingga melahirkan konsekuensi terhadap pandangan hukum pidana secara keseluruhan.[3] Beberapa tokoh monisme memberikan definisi strafbaar feit yang menjadi dasar perbedaan dengan pandangan dualisme. Simon[4] merumuskan bahwa strafbaar feit adalah.........“........suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Simon membagi unsur strafbaar feit menjadi dua bagian. Pertama, unsur objektif yang meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan atau masalah tertentu tertentu; dan unsur subyektif yang meliputi kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari petindak”.Sedangkan Pompe mendefinisikan strafbaar feit sebagai “suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan hukum”.[5]Definisi tersebut menunjukkan adanya dua unsur dalam strafbaar feit. Pertama, unsur obyektif yang meliputi kelakuan atau perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan dilarang oleh UU. Kedua, unsur subyektif yang terdiri dari kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab pelaku. Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang[6] menyebutkan bahwa unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Lebih lanjut, Lamintang merinci unsur subyektif dan unsur obyektif dari perbuatan pidana sebagai berikut:a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.Adapun unsur-unsur obyektif dari perbuatan pidana terdiri dari :a. Sifat melanggar hukum;b. Kualitas dari pelaku, misalnya “keadaan sebagai pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatn menurut Pasal 398 KUHP;c. Kausalitas, yakni penyebab hubungan suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Dalam hal ini, Satochid[7] menegaskan adanya “akibat” dari perbuatan tertentu sebagai salah satu unsur obyektif dari perbuatan pidana.Pendapat yang sama dikemukakan oleh Jonkers sebagaimana dapat disimpulkan dari definisinya tentang strafbaar feit[8] sebagai “perbuatan yang melawan hukum yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.[9] Menurutnya, ”kesalahan atau kesengajaan selalu merupakan unsur dari kejahatan”.[10] Dengan demikian, ketidakmampuan bertanggung jawab dan ketiadaan kesalahan merupakan alasan pembebasan pelaku karena perbuatan pidana yang dituduhkan tidak terbukti.Pandangan monisme memiliki akar historis yang berasal dari ajaran finale handlungslehre yang dipopulerkan oleh Hans Welzel pada tahun 1931. Inti ajaran finale handlungslehre menyatakan bahwa kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perbuatan.[11] Eksistensi kesengajaan yang termasuk dalam perbuatan disebabkan argumentasi utama finale handlungslehre, bahwa setiap perbuatan pidana harus didasari intensionalitas untuk mencapai tujuan tertentu sehingga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan final (final-subyektif). Dalam konteks ini, setiap bentuk perbuatan naturalistis yang ditentukan berdasarkan hubungan kausal tidak termasuk dalam perbuatan pidana.Karenanya, perbuatan pidana hanya ditujukan kepada perbuatan dan akibat yang ditimbulkan berdasarkan penetapan kesengajaan pelaku.Tujuan utama finale handlungslehre adalah menyatukan perbuatan pidana dan kesalahan, serta melepaskan perbuatan pidana dari konteks kausalitas. Dengan kata lain, ”perbuatan adalah kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan kepada akibat-akibat tertentu. Jadi kesadaran atas tujuan, kehendak yang mengandalikan kejadian-kejadian yang bersifat kausal itu adalah suatu ”rugggeraat” dari suatu perbuatan final.[12] Untuk selanjutnya, pembahasan mengenai finale handlungslehre akan dibahas tersendiri dalam bab tentang teori kepembuatan (daderschap).2. DUALISTISBerbeda dengan monisme yang menjadikan kesalahan (kesengajaan) sebagai unsur subyektif dari perbuatan pidana, pandangan dualistis tentang delik bersikeras memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, unsur obyektif hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana. Atas dasar itu, perbuatan pidana hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu perbuatan dijatuhi pidana. Sedangkan unsur subyektif hanya dapat dikandung dalam pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada pembuat melalui celaan yang diobyektifkan. Karenanya, pemidanaan hanya diterapkan kepada pembuat setelah terbukti melakukan perbuatan pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan.Pelaksanaan perbuatan pidana tidak serta merta menyebabkan seseorang dapat dipidana lantaran perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika dilanggar. Sementara itu, pemidanaan bergantung kepada kesalahan pembuat manakala melakukan perbuatan. Pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana ini nampak dalam definisi perbuatan pidana yang dikemukakan Moeljatno, ”...perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.[13]Dalam konteks pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, suatu perbuatan terjadi apabila perbuatan tersebut dirangkum dalam UU dan tidak dibenarkan oleh alasan pembenar. Atas dasar itu, unsur batin harus dilepaskan dari perbuatan pidana. Kantorowicz menyatakan, sebagaimana dikutip Abidin Farid,[14] bahwa perbuatan pidana (stafbare handlung) mensyaratkan adanya perbuatan, persesuaian dengan rumusan UU dan tidak adanya alasan pembenar. Sedangkan bagi pembuat disyaratkan adanya kesalahan dan tidak adanya dasar pemaaf.Pandangan ini juga diperkuat dalam Pasal 350 Wetboek van Strafvordering Nederland yang memerintahkan hakim yang memeriksa perkara dipersidangan agar mempertimbangkan dahulu apakah terdakwa terbukti mewujudkan strafbaarfeit, kalau sudah terbukti barulah hakim mempertimbangkan apakah terdakwa bersalah (strafbaarheid), kalau terbukti bersalah dan memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban, barulah hakim mempertimbangkan tentang pidana atau tindakan yang dijatuhkan.[15] Dari sini nampaknya pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana memudahkan hakim dalam memeriksa perkara di persidangan. Konsep gradualitas berjenjang yang diamanatkan Pasal 350 untuk digunakan dalam pemeriksaan perkara tidak terlepas dari konsep dualistis yang mengadakan diferensiasi perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, ajaran dualistis tidak hanya berlaku di ranah hukum pidana materiel saja melainkan juga berlaku dalam hukum acara pidana terutama bagi hakim yang memeriksa perkara.Dalam konteks ini, ajaran dualistis menolak adagium actus non facit reum nisi mens sit rea (an act does not make a person guilty unless his mind is guilty) dengan alasan bahwa asas ini menyatukan actus reus dan mens rea sebagaimana dipahami ajaran monistis yang banyak dianut di negara-negara common law system seperti Inggris dan Amerika. Dalam pemahaman dualistis, dimungkinkan terjadinya perbuatan pidana meskipun tidak ada seorang pun yang dapat dipersalahkan atas perbuatan tersebut sehingga pembuat harus dilepas dari tuntutan hukum. Namun, apabila terdapat seseorang yang dapat dipersalahkan atas perbuatan tersebut, maka pembuat dapat dipidana. Karena itu, actus reus hanya menyangkut perbuatan yang meliputi unsur-unsur obyektif. Sementara itu, mens rea berkaitan dengan pertanggungjawaban (dapat dipidananya) pembuat.Secara historis, latar belakang ajaran dualistis dapat ditelusuri dari ajaran kausale handlungslehre yang menolak pandangan Welzel yang diformulasikan dalam finale handlungslehre. Menurut kausale handlungslehre, pusat perhatian hukum pidana adalah perbuatan (pidana). Setiap perbuatan yang tidak termasuk dalam kategori perbuatan pidana tidak menjadi perhatian hukum pidana. Mezger menyatakan pengertian perbuatan adalah ”substraat yang bersifat umum dari semua perbuatan pidana”.[16] Berdasarkan perspektif kausale handlungslehre, perbuatan terdiri dari perbuatan jasmaniah yang dikehendaki pembuat dan akibat-akibat yang bersifat lahiriah. Lebih lanjut, Mezger berpendapat mata rantai yang bersifat kausal dari akibat-akibat, yang telah digerakkan oleh kehendak dari subjek, akan berjalan terus sampai sesuatu yang tidak berakhir.[17] Namun, Mezger menggarisbahwahi ”keputusan kehendak” adalah bagian dari perbuatan (sifat melawan hukum subyektif)[18] dan harus dibedakan dari pertanggungjawaban pidana. Ia menyatakan ”...seberapa jauhkah keputusan kehendak juga merupakan isi kesadaran dari subjek, tidak penting bagi yang disebut perbuatan ini.Hal tersebut baru akan muncul pada tingkat kemudian, yaitu bilamana telah dipersoalkan mengenai kesalahan”.[19] B. PENGARUH MONISTIS DAN DUALISTISPenjajahan Belanda atas Indonesia memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem hukum Indonesia. Melalui konkordansi, Indonesia mengadopsi hukum Belanda untuk diterapkan di Indonesia agar tidak terjadi kekosongan hukum. Dalam proses konkordansi tersebut, sistem hukum Belanda memberikan pengaruh yang besar terhadap pondasi sistem hukum Indonesia terutama sejak digunakannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang didasari ajaran monistis yang menjadikan kesalahan sebagai salah satu unsur perbuatan pidana.[20]Semula KUHP sekarang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1886 dan diberlakukan pada tahun 1915. Sejak tahun 1946, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diundangkan melalui UU Nomor 1 tahun 1946 tentang hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia. Kemudian melalui UU Nomor 73 tahun 1958, dinyatakan berlakunya UU Nomor 1 tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia. Sejak saat itu berlakulah satu KUHP di Indonesia.[21]Salah satu indikasi yang paling jelas terkait dengan ajaran monistis yang mendasari KUHP adalah penggabungan kata ”sengaja” atau ”diketahuinya” dengan unsur perbuatan pidana dalam satu rumusan delik. Penggabungan yang dapat ditemukan dalam setiap pasal KUHP itu menunjuk kepada kesengajaan (kesalahan) sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Lihat saja rumusan Pasal 372 KUHP yang menyatakan:”Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai miliknya sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan....” Berdasarkan rumusan tekstual yang menggabungkan ”sengaja” yang menjadi unsur kesalahan dan ”melawan hukum” yang menjadi unsur perbuatan pidana menyimpulkan ajaran monistis sebagai landasan utama KUHP. Kedudukan KUHP sebagai lex generalis yang menjadi acuan bagi UU yang memuat ketentuan pidana, turut memengaruhi ketentuan lex specialis dan UU lainnya (non-lex specialis) yang terpisah dari KUHP. Konstruksi penggabungan unsur perbuatan pidana dan kesengajaan banyak ditemukan di UU baru yang terpisah dari KUHP.Salah satu contohnya adalah UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan dalam Pasal 18 ayat 1, “Setiap orang yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.Meskipun UU Pers dipandang bukan sebagai lex specialis dari KUHP[22], pengaruh monisme sangat kental terlihat dalam rumusan pasal 18 ayat 1 UU Pers. Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana sementara tindakan merupakan inisiasi dari perbuatan pidana yang diwujudkan dalam bentuk kelakuan (plegen) secara aktif (komisi). Karena itu, keduanya seharusnya dipisahkan dari kata “sengaja”.Konstruksi serupa dapat ditemukan dalam Pasal 72 ayat 1 UU nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan Umum yang menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun”. “Memberikan keterangan” adalah bentuk perbuatan. Karena delik hanya membicarakan tentang perbuatan, maka seyogianya segala hal yang berkaitan dengan kesengajaan tidak perlu dirumuskan dalam UU.Ajaran monistis yang mendapat dukungan besar di Belanda berangsur-angsur meredup. Kendati rumusan Wetboek van Strafrecht tidak mengalami perubahan tekstual yang menunjukkan perubahan dari monistis kepada dualistis, terdapat perubahan mendasar dalam paradigma hukum yang lebih mengedepankan ajaran dualistis. Unsur kesengajaan tidak lagi dipandang sebagai unsur subyektif dari perbuatan pidana melainkan suatu entitas tersendiri yang harus dilepaskan dari perbuatan pidana. Pergeseran paradigma hukum pidana dalam sistem hukum Belanda dapat disimpulkan dalam putusan Hooge Raad tahun 1924 yang menolak permohonan terdakwa dan menentukan bahwa kemampuan bertanggung jawab bukanlah unsur strafbaar feit melainkan (ketidakmampuan bertanggung jawab) merupakan alasan penghapus pidana.Moeljatno memberikan komentar atas putusan tersebut dengan mengatakan:“...pernyataan Hooge Raad bahwa kemampuan bertanggung jawab dipandang sebagai alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) dan bukan sebagai unsur strafbaar feit, dapatlah dipandang sebagai pengingkaran atas kebenaran pendapat yang klasik tentang makna strafbaar feit. Jika kemampuan bertanggung jawab bukan unsur delik pada hal orang tak mungkin dijatuhi pidana, kalau dia tidak mampu bertanggung jawab, maka itu berarti bahwa makna strafbaar feit adalah strafbaarheid van de persoon yang melakukan feit, sudah dilepaskan”.[23] Dengan begitu, penolakan terhadap ajaran monistis dalam hukum pidana dengan sendirinya ditujukan juga kepada ajaran finale handlungslehre. Berkaitan dengan hal ini, Remmelink menegaskan ”...konsep tindakan seperti dipahami ajaran tersebut mengimplikasikan bahwa, antara lain, opzet harus otomatis dipandang sebagai unsur perbuatan. Namun ini tidak sejalan dengan konsep pemisahan unsur kesengajaan dari tindak pidana sebagaimana dianut dalam sistem hukum Belanda”.[24]Kenyataan ini menunjukkan adanya keselarasan antara hukum pidana yang menganut ajaran dualistis dengan hukum acara pidana yang memerintahkan hakim untuk memeriksa perbuatan pidana terlebih dahulu, setelah perbuatan pidana terbukti, maka hakim melanjutkan pemeriksaan tentang kesalahan pembuat sebagaimana diatur dalam Pasal 350 Wetboek van Strafvordering Nederland.Sementara itu, Indonesia yang menerjemahkan KUHP Belanda untuk diterapkan di Indonesia, juga terpengaruh konstruksi monistis yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht. Ajaran monistis mendominasi pandangan hukum pidana Indonesia lantaran kurangnya kritik dari berbagai pihak yang berkutat dengan hukum pidana secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, upaya revisi rancangan KUHP yang telah dimulai sejak beberapa dasawarsa berjalan lambat. Perdebatan kritis hanya bergulir secara terbatas dalam lingkup akademis. Sementara para praktisi hukum tidak tertarik dengan perdebatan monistis dan dualistis dan lebih menitikberatkan kepada teknis peradilan dan hukum acara.Pandangan dualistis yang memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana muncul pertama kali di Indonesia tatkala Moeljatno menyampaikan pidato dies natalis di Universitas Gajah Mada (1955) yang berjudul “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”. Tulisan tersebut mengawali pembedaan tegas antara perbuatan pidana yang merujuk kepada sifatnya perbuatan yang dilarang, dan pertanggungjawaban pidana yang hanya membahas tentang dapat dipidananya pembuat. Ajaran dualistis diteruskan kembali oleh Roeslan Saleh dan Abidin Farid. Sepanjang pengetahuan penulis, generasi baru yang memperjuangkan ajaran dualistis adalah Chairul Huda[25] dari Universitas Muhammadiyah Jakarta dan beberapa dosen di Universitas Hasanuddin.C. KECENDERUNGAN BARUKemunculan wacana dualistis tentang delik dalam hukum pidana mencoba memberikan alternatif baru menggantikan ajaran monistis dalam memahami hukum pidana. Kendati tokoh-tokoh monisme masih kuat dan banyak jumlahnya, pergeseran pandangan dari monisme kepada dualisme seolah tak terhindarkan.Fenomena ini didasari keberatan yang diajukan terhadap ajaran monisme dan finale handlungslehre. Pertama, alasan paling populer dalam perdebatan monistis dan dualistis adalah pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Dalam perspektif dualistis, penggabungan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban tidak dapat dibenarkan karena mencampurkan unsur obyektif dan subyektif dalam satu wadah sehingga tidak mampu mengurai kerumitan yang terdapat dalam hukum pidana. Diferensiasi tersebut bertujuan memberikan kemudahan dalam menganalisis hukum pidana dan menempatkan kedua sistematika secara proporsional. Perbuatan pidana selamanya tidak berkaitan dengan keadaan batin pembuat lantaran perbuatan hanya menunjuk kepada perilaku dan keadaan yang obyektif beserta akibat yang ditimbulkan.Kedua, ajaran monisme berpotensi melepaskan kejahatan dari jerat hukum pidana. Hal ini dapat terjadi manakala kejahatan yang telah memenuhi rumusan delik dan bersifat melawan hukum yang tidak dijustifikasi dengan alasan pembenar dinyatakan bukan sebagai perbuatan pidana lantaran dilakukan tanpa kesengajaan. Dalam konteks yang lebih luas, perspektif monisme atas perbuatan pidana bertentangan dengan tujuan hukum pidana untuk “menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum”[26] melalui kualifikasi kejahatan sebagai perbuatan pidana. Kendati kualifikasi kejahatan sebagai perbuatan pidana tidak serta merta menyebabkan pembuat dapat dipidana, kualifikasi tersebut sangat penting untuk melahirkan norma hukum bagi masyarakat. Dengan demikian, kendala untuk mengkualifikasi kejahatan menjadi perbuatan pidana justru menghambat upaya penegakan tertib hukum, keberlakuan norma dan perlindungan masyarakat hukum.Ketiga, ajaran monisme tidak mampu menjangkau delik artifisial yang bertolak belakang dengan delik-delik fisik.
Kecenderungan baru pada pandangan dualistis juga tampak dalam beberapa UU, antara lain UU Psikotropika yang hanya merumuskan bentuk perbuatan pidana tanpa disertai dengan kata “sengaja”. Dalam perspektif dualistis, rumusan tersebut dapat diterima lantaran delik hanya memformulasikan bentuk perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Formulasi semisal dapat pula ditemukan dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.Dari sudut ius constituendum, pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana nampak jelas dalam formulasi Rancangan KUHP. Dalam beberapa revisi Rancangan KUHP tahun 1991/1992, 1999/2000 dan 2004/2005, perbuatan pidana[27] dan pertanggungjawaban pidana[28] ditegaskan secara definitif dan dipisahkan dalam dua judul yang berbeda.Namun demikian, formulasi aturan hukum tidak menjamin penerapan ajaran dualistis dalam hukum pidana karena formulasi ajaran dualistis dalam aturan hukum hanya mencakup sisi regulasi dalam hukum pidana secara keseluruhan. Chairul Huda[29] mengklasifikasi penerapan ajaran dualistis dalam tiga tahap, yaitu tahap legislasi, tahap putusan pengadilan dan penegakan hukum pidana.Pertama, penerapan ajaran dualistis dalam aturan hukum tertulis seperti dalam RKUHP. Dengan sendirinya, penerapan ajaran dualistis dalam RKUHP (jika disetujui menjadi KUHP) mengharuskan legislasi UU menganut konstruksi dualistis dalam KUHP baru.Kedua, penerapan ajaran dualistis dalam dakwaan pidana (eksekusi). Formulasi monistis dalam KUHP turut memengaruhi konstruksi dakwaan pidana yang dibuat berdasarkan rumusan delik. Kesulitan penerapan ajaran dualistis dalam tahap ini sama dengan kesulitan dalam tahap putusan pengadilan.Ketiga, implementasi ajaran dualistis dalam putusan pengadilan pidana. Segmen putusan pengadilan ini mempunyai implikasi yang luas dalam sistem peradilan pidana. Karenanya, penegasan penerapan ajaran dualistis tidak hanya dibutuhkan dalam hukum pidana materiel (KUHP) melainkan juga diperlukan dalam hukum acara pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 350 Wetboek van Strafvordering Nederland guna mencegah kesenjangan antara hukum pidana dan hukum acara pidana. Seperti halnya KUHP, KUHAP selayaknya mengubah paradigma monistis menjadi dualistis sehingga tercipta penyesuaian antara aturan hukum materiel dengan aturan pelaksanaannya.Sementara itu, persoalan yang lebih mendasar terletak dalam paradigma hukum hakim yang mengadili, memeriksa dan memutus perkara pidana. Dengan penerapan hukum yang berorientasi praktis, hakim pidana hanya mengikuti aturan hukum yang ada tanpa disertai kritik-kritik yang konstruktif terhadap dasar-dasar KUHP sekarang. Pernyataan ini dapat disimpulkan dari beberapa putusan yang diteliti oleh Chairul Huda[30] dalam disertasinya yang menunjukkan bahwa putusan-putusan tersebut masih berorientasi kepada monistis. Paradigma hakim pidana yang dilembagakan dengan ajaran monistis menciptakan kendala bagi ajaran dualistis untuk menggantikan paradigma monistis para hakim. Keadaan ini berpotensi melahirkan kesenjangan baru yang menghambat penerapan ajaran dualistis dalam putusan pidana manakala RKUHP disahkan dan diberlakukan.[1] Monistis tentang delik menyatakan bahwa unsur perbuatan pidana terdiri dari unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur obyektif meliputi adanya sifat melawan hukum, persesuaian dengan delik dan tidak adanya alasan pemaaf. Sedangkan unsur subyektif terdiri dari kesalahan. Pandangan ini menyatukan unsur pertanggungjawaban pidana (kesalahan) ke dalam perbuatan pidana tanpa diferensiasi antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.[2] Dualistis tentang delik membedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, kesalahan merupakan unsur subyektif yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana. Karena itu, kesalahan tidak mungkin dimasukkan dalam perbuatan pidana yang hanya mengandung unsur obyektif saja sehingga perbuatan pidana hanya dapat dilarang (tidak dipidana). Adapun pemidanaan ditujukan kepada pembuat yang dinyatakan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan dilakukannya. Berdasarkan hal ini, pemidanaan terhadap pembuat harus melihat dua hal yang terpisah, pertama, apakah perbuatan pidana dilakukan, dan kedua, apakah pembuat dapat mempertangungjawabkan (bersalah) dalam melakukan perbuatan pidana sehingga dapat dipidana. [3]Pandangan monisme diikuti sebagian besar ahli hukum pidana di Belanda dan Indonesia, antara lain Jonkers, Van Hamel, Simon, Lamintang dan Sathochid. [4]S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Penerbit Ahaem-Petehaem, 1996), h. 201[5]Ibid.[6]Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1997), Cet. III, hh. 193-194.[7] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, t.t.). h 73.[8] Jonkers mengartikan strafbaar feit dengan peristiwa pidana[9] JE. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), h. 135[10] Ibid. H. 136[11] Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), h. 13 [12] Ibid. hh. 18-20[13] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993), cet. V. h. 54[14] Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hh. 44-5[15] Ibid, h. 43[16] Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan .....h. 21 [17] Ibid[18] Untuk lebih jelasnya, lihat bab tentang sifat melawan hukum.[19] Ibid[20] Sampai hari ini belum ada terjemahan resmi KUHP yang mengadopsi Wetboek van Strafrecht Belanda. Lihat Andi Zaenal Abidin Farid, Op. Cit. hh. 60-75.; Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990)[21] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Eresco, 1986), edisi II, h. 11[22] UU pers tidak mengatur hal-hal umum yang diatur dalam KUHP dan menambahkannya dengan hal baru yang mencirikan UU tersebut lex specialis dari UU tertentu. Lex specialis mensyaratkan pengaturan hal-hal umum yang diatur dalam lex generalis dan menambahkan hal-hal baru yang belum diatur dalam lex generalis[23] Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983). hh. 12-3[24] J. Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 113[25] Chairul Huda adalah murid Roeslan Saleh dan anggota tim revisi Rancangan KUHP tahun 2004. Beliau menulis disertasi tentang ajaran dualistis yang berjudul “Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana (Tinjauan Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana)” [26] J. Remmelink, Op. Cit, h. 14[27] Dalam revisi terakhir Rancangan KUHP sebelum diajukan ke DPR, definisi perbuatan pidana adalah “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”[28] Sedangkan RKUHP mendefinikan pertanggungjawaban pidana dengan “diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya”[29] Chairul Huda, Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana (Telaah Kritis Terhadap Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana), Disertasi, Program Pascasarjana UI, Jakarta[30] Chairul Huda, Ibid