Selasa, 20 September 2011

MENGURAI BENANG KUSUT KASUS WISMA ATLET DAN HAMBALANG.

Beberapa waktu ini, kasus Wisma Atlet dan Hambalang semakin mencuat. Kasus ini semakin menghangat setelah Nazaruddin, yang telah ditetapkan sebagai tersangka, secara berkala memberikan “kesaksian” yang menyebutkan keterlibatan beberapa petinggi partai pemenang pemilu 2009. Nazaruddin sendiri adalah tersangka bersama tiga orang tersangka lainnya yang diduga terlibat kasus Wisma Atlet. Muncul beberapa pertanyaan tentang kasus ini dihubungkan beberapa informasi yang disampaikan oleh Nazaruddin; apakah memang pelaku tindak pidana dalam kedua kasus tersebut hanya dilokalisasi kepada keempat orang tersebut yang secara aktual dan faktual diduga terlibat dalam tindak pidana yang dituduhkan ataukah terdapat orang lain yang juga terlibat? Jika jawabannya positif, maka apakah proses hukum terhadap orang-orang di belakang layar itu dapat dilakukan tanpa kehadiran Nazaruddin untuk menjalani proses hukum ataukan harus menunggu Nazaruddin pulang mengingat bahwa sampai saat ini tidak ada pihak lain yang ditetapkan sebagai tersangka atas kedua kasus tersebut.

PELAKU TINDAK PIDANA

Keempat tersangka dan terdakwa dalam kasus Wisma Atlet merupakan orang-orang yang secara aktual dan faktual terlibat dalam kasus Wisma Atlet. Dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, seringkali orang yang secara langsung melakukan tindak pidana dipandang sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan orang-orang di belakang yang mengatur terjadinya tindak pidana kerap tidak tersentuh oleh hukum.
Sejatinya tidak selalu demikian. Hukum pidana memahami modus kejahatan yang seringkali menempatkan orang di belakang layar sebagai pembuat tindak pidana, karena keberadaannya menjadi penentu terjadinya tindak pidana, sedangkan pelaku langsung hanya sebagai “boneka” saja. Modus semacam ini sering ditemukan dalam kejahatan “kerah putih” (white collar crime) dan kejahatan terorganisasi, termasuk di dalamnya tindak pidana korupsi.
Berdasarkan hal itu, hukum pidana mengembangkan ajaran pembuat tindak pidana, sehingga pelaku tindak pidana bukan saja yang secara langsung melakukan tindak pidana, tetapi meliputi orang yang secara fungsional menyebabkan keadaan terlarang. Cluysenaer dalam disertasinya menyatakan “bij het ontbreken van iedere wettelijke regeling ware als dader van een strafbaar feit te beschouwen hij, wiens gedraging adaequaat veroorzaakt, dat het door de delictsomschrijving beschermde rechtsbelang (eventueel op de aldaar aangegeven wijze) wordt geschonden” (Daderschap, 1939: 11). Dalam hal UU tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pembuat tindak pidana, maka penafsiran terhadap hal itu meliputi orang-orang yang secara adekuat menyebabkan terlanggarnya kepentingan hukum tertentu. Penentuan pelaku didasarkan pada hubungan orang tersebut dengan peristiwanya.
Menurut hemat penulis, pandangan ini dapat digunakan dalam menentukan siapa sebenarnya yang seharusnya ditetapkan sebagai pembuat tindak pidana, di samping empat orang tersangka dan terdakwa tersebut. Dengan bukti yang dimiliki empat tersangka tersebut, seharusnya KPK dapat mengurai benang kusut kasus Wisma Atlet dan Hambalang sehingga “aktor penting” yang secara fungsional berperan penting dalam mengatur terjadinya tindak pidana dapat ditetapkan sebagai pelaku dan disidangkan. Oleh karena pelaku lebih dari satu orang, maka KPK dapat menggunakan doktrin penyertaan berdasarkan Pasal 55 KUHP.

PEMERIKSAAN HUKUM

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan hukum terhadap “aktor penting” tanpa kehadiran Nazaruddin ke Indonesia? Bisa saja. Dengan mengelaborasi ketentuan penyertaan dimungkinkan bahwa pemeriksaan terhadap “aktor penting”, sebagai orang yang ikut serta melakukan tindak pidana bersama pelaku (peserta), dapat dilakukan tanpa didahului dengan proses hukum terhadap Nazaruddin, sepanjang “aktor penting” tersebut mempunyai hubungan yang erat dengan tindak pidana.
Untuk itu, KPK perlu mengelaborasi pandangan Cluysenaer dengan doktrin penyertaan berdasarkan Pasal 55 KUHP. Penyertaan adalah perluasan tindak pidana. Seseorang dianggap melakukan tindak pidana manakala ia melanggar kaidah dan norma yang diperluas itu. Dalam konteks ini, persoalan terpenting dalam penyertaan adalah adanya hubungan antara peserta (“aktor penting”) dengan tindak pidana. Bisa jadi “aktor penting” tidak melakukan tindak pidana secara langsung, tetapi terdapat hubungan yang demikian erat dengan tindak pidana sehingga “aktor penting” itu dapat ditarik sebagai peserta. Jika titik tolak pemeriksaan pelaku terletak pada tindak pidana, maka titik tolak pemeriksaan peserta terletak pada hubungannya dengan tindak pidana.
Berangkat dari konsepsi ini, pemeriksaan hukum terhadap “aktor penting” didasarkan kepada hubungan “aktor penting” dengan tindak pidana, yang diwujudkan dalam peran pentingnya terhadap terjadinya tindak pidana. Berdasarkan itu, perhatian utama pemeriksaan hukum terhadap peserta terletak dalam hubungan peserta dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (langsung), dan bukan hubungan antara pelaku dan peserta. Sebab, hubungan antara pelaku dan peserta mengharuskan proses hukum terhadap pelaku mendahului proses hukum terhadap peserta, bukan sebaliknya.
Pemeriksaan hukum yang didasarkan atas hubungan peserta dengan tindak pidana yang dilakukan pelaku memungkinkan bahwa proses hukum terhadap peserta dapat mendahului proses hukum terhadap pelaku, sepanjang ditemukan fakta bahwa tindak pidana terjadi dan peserta mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Dalam kasus Wisma Atlet, misalnya, pemeriksaan terhadap “aktor penting” dapat dilakukan tanpa didahului dengan pemeriksaan Nazaruddin. Penyidikan dan persidangan dalam kasus Wisma Atlet cukup menjadi dasar bahwa penyidik telah menyimpulkan terjadinya tindak pidana. Pekerjaan yang tersisa bagi penyidik adalah membuktikan keterkaitan “aktor penting” dengan tindak pidana tersebut. Untuk kasus Hambalang, tindak pidananya harus lebih dulu diperiksa oleh penyidik, sebelum penyidikan menetapkan siapa saja yang berhubungan dengan kasus tersebut.
Doktrin penyertaan sebagai perluasan tindak pidana perlu dikembangkan dan digunakan oleh penegak hukum untuk menyiasati “hilangnya” salah satu pelaku tindak pidana agar tidak menghambat proses hukum terhadap pelaku tindak pidana lainnya. Dalam kasus ini, pemeriksaan terhadap “aktor penting” dapat ditindaklanjuti tanpa keharusan bagi penegak hukum untuk memeriksa, mengadili dan memidana Nazaruddin terlebih dahulu. Sebab, pemeriksaan terhadap “aktor penting” bertumpu kepada hubungan antara tindak pidana dalam kasus Wisma Atlet dan “aktor penting”, bukan hubungan antara Nazaruddin dengan “aktor penting” itu.
Sebelumnya, doktrin penyertaan mengharuskan pelaku langsung diperiksa, diadili dan dipidana lebih dulu dari peserta. Hal ini menyulitkan manakala pelaku langsung melarikan diri sehingga proses hukum terhadap peserta tidak dapat ditindaklanjuti. Sekarang berpulang kepada keinginan KPK untuk memproses kasus ini. Kita tunggu saja.