Minggu, 19 April 2009

DIMENSI HUKUM PIDANA

Oleh: Muhammad Ainul Syamsu
(Advokat)

A. Pengantar

Dimensi hukum pidana tidak hanya menyangkut persoalan doktriner dan prosesual yang digunakan dalam persidangan. Lebih dari itu, dimensi hukum pidana mencakup persoalan kebijakan hukum pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, penerapan ketentuan normatif yang dihasilkan dari kebijakan dan pelaksanaan pemidanaan sebagai nestapa atas pelanggaran norma yang telah ditentukan dalam hukum pidana. Dari sini terlihat bahwa korelasi hukum pidana telah tercipta sejak adanya keinginan untuk melakukan pengaturan terhadap perilaku tertentu dalam rangka menjaga tertib masyarakat dan memberikan perlindungan warga negara dari represi negara. Dalam konteks ini, dimensi hukum pidana diadakan dalam rangka memenuhi fungsi hukum pidana. Profesor Sudarto menyatakan bahwa hukum pidana memiliki fungsi primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer hukum pidana adalah memberikan pengaturan kepada masyarakat untuk menciptakan tertib hukum. Fungsi sekunder hukum pidana adalah membatasi perilaku aparatur hukum dalam menjalankan hukum demi menjaga hak-hak warga negara. Dalam kerangka menjalankan fungsi-fungsi tersebut, maka pembahasan hukum pidana tidak dapat dibatasi pada persoalan doktriner dan prosesual, tapi harus diperluas sehingga mencakup kebijakan hukum pidana, pengugeran norma dalam aturan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana.

Pembahasan hukum pidana yang hanya menitikberatkan kepada doktriner dan prosesual justru mereduksi eksistensi hukum pidana karena akan memangkas sensifitas hukum pidana terhadap nilai-nilai yang seyogyianya diatur dalam ketentuan normatif. Hal ini disebabkan hukum pidana doktriner dan prosesual merupakan ketentuan normatif. Ketentuan normatif mempunyai arti menakala norma yang diatur dihasilkan dari kenyataan sosiologis yang benar-benar terjadi di masyarakat. Dengan kata lain, pembentukan hukum pidana doktriner dan prosesuil harus didahului penentuan kebijakan hukum pidana agar pengugeran mempunyai relevansi dengan keadaan sosilogis. Dalam konteks tersebut, makalah ini mengupas sekilas tentang dimensi hukum pidana yang meliputi kebijakan hukum pidana, hukum pidana normatif dan hukum pelaksanaan pidana.


B. Kebijakan Hukum Pidana: Urgensi Krimonologi bagi Hukum Pidana

Kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial. Kebijakan hukum pidana atau yang lazim disebut politik kriminil merupakan upaya masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Ungkapan ini berasal dari Profesor Marc Ancel yang menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana adalah “the rational organization of the control of crime by society”. Sejalan dengan pengertian tersebut,Profesor GP Hoefnagels mendefinisikan kebijakan hukum pidana dengan “criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime”. Berdasarkan pengertian ini, kebijakan hukum pidana berupaya untuk mengidentifikasi hal-hal tertentu yang perlu diatur dalam rangka menanggulangi kejahatan.

Sebagai ciri hukum pidana dalam negara modern, kebijakan hukum pidana mempunyai pengaruh penting dalam menentukan arah dan pembaruan hukum pidana. Dalam konteks ini, kebijakan hukum pidana meletakkan dasar bagi perilaku tertentu yang dilarang, penerapan ketentuan tersebut serta lembaga-lembaga yang berwenang dalam penegakan hukumnya. Kebijakan hukum pidana bertugas memberi masukan bagi legislasi dan memformulasi kemampuan lembaga-lembaga yang berwenang atas penegakan hukumnya, sehingga keberlakuan dan efektifitas hukum pidana dalam menjalankan fungsinya dapat tercapai dengan baik. Lingkup kerja kebijakan hukum pidana yang begitu luas tercermin dalam pengertian kebijakan hukum pidana yang diungkapkan oleh Profesor Sudarto, yang mengelaborasi beberapa pengertian yang lazim dianut dalam diskursus kebijakan hukum pidana, dengan merinci kebijakan hukum pidana terdiri dari keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan ataupun polisi dan keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Senada dengan pengertian yang diutarakan oleh Profesor Sudarto, Profesor Mulder menyatakan bahwa kebijakan hukum pidana berfungsi untuk menentukan seberapa jauh ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah dan perbarui, pencegahan terjadinya tindak pidana dan pengaturan tentang pelaksanaan proses judisial seperti penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan pidananya.

Beberapa pengertian di atas menegaskan bahwa kebijakan hukum pidana mempunyai dua tugas utama. Pertama, kebijakan hukum pidana memberikan arah bagi aturan hukum pidana. Arah yang ingin dituju oleh aturan hukum pidana tercermin baik secara eksplisit maupun implisit dalam peraturan pidana yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Sementara itu, arah yang ditentukan dalam kebijakan hukum pidana harus tetap dipedomani oleh lembaga legislatif. Kedua, kebijakan hukum pidana bertugas melakukan reevaluasi, rekonstruksi dan mereorganisasi aturan hukum pidana dan badan pelaksananya agar keduanya selalu sejalan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dalam kerangka reformasi hukum pidana, tindakan reevaluasi, rekonstruksi dan reorganisasi hukum pidana mutlak dilakukan. Reformasi hukum pidana harus didasarkan kepada pendekatan yang berorientasi kebijakan (policy-oriented approach) dan pendakatan yang berorientasi kepada nilai (value-oriented approach). Dilihat dari segi pendekatan kebijakan, reformasi hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial yang lebih luas yang secara integral diberlakukan dalam rangka pembangunan bangsa secara umum dan secara khusus memberikan perlindungan kepada masyarakat. Dengan begitu, hukum pidana diharapkan dapat terus memperbarui diri berdasarkan perubahan sosial dan masyarakat. Dilihat dari pendekatan nilai, reformasi hukum pidana menggambarkan upaya reaktualisasi atas nilai sosial, politik dan ekonomi yang mendasari ketentuan normatif hukum pidana sehingga dimungkinkan perubahan aturan hukum manakala ditemukan bahwa nilai sosial, politik dan ekonomi yang dianut dalam aturan hukum di masa lalu tidak relevan lagi di zaman sekarang. Dalam kerangka ini, kriminalisasi harus didasarkan atas orientasi kebijakan dan nilai dengan tetap membuka jalan dilakukannya dekriminalisasi terhadap tindak pidana yang tidak relevan dengan keadaan sosio politik dan ekonomi.

Proses kriminalisasi dalam hukum pidana Indonesia terlihat dari maraknya berbagai perundang-undangan di luar KUHP. Kendati kriminalisasi diperlukan karena KUHP tidak dapat menampung semua ketentuan tentang tindak pidana, namun sering kali ditemukan kriminalisasi yang tidak didasarkan kepada kebutuhan nyata masyarakat dan tidak mempersiapkan kapabilitas badan pelaksana. Hal ini terlihat dalam Undang-undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) yang mengabaikan diversitas masyarakat Indonesia. Secara implisit, satu-satunya faktor dilakukannya kriminalisasi dalam bentuk UU Pornografi adalah pertimbangan moralitas yang bersifat segmental dan tidak mewakili keseluruhan masyarakat Indonesia. Kendati penulis menyetujui perlunya penanggulangan kejahatan pornografi dan kesusilaan, namun penanggulangan pornografi tidak serta mengabaikan budaya dan adat yang telah lama hidup di Indonesia. Aturan hukum pidana yang hanya didasarkan kepada aspek moralitas semata dan mengabaikan keadaan nyata masyarakat berpotensi menimbulkan represi ataupun kelebihan kriminalisasi (overcriminalization) yang berakhir dengan inefektifitas penerapan UU tersebut.

Rancangan KUHP pun tidak terlepas dari potensi kelebihan kriminalisasi karena proses kriminalisasi tidak didukung dengan penelitian tentang nilai sosio politik dan ekonomi masyarakat. Hal ini terlihat dalam ketentuan tentang santet yang diatur dalam Rancangan KUHP. Ketentuan tidak mencerminkan masyarakat modern yang menekankan rasionalitas. Kendati tindak pidana santet merupakan delik formil yang tidak mensyaratkan akibat, paradigma yang mendasari tindak pidana santet tidak mencerminkan budaya masyarakat modern. Bahkan dalam tulisannya, Profesor Barda Nawawi Arief merujuk kepada kerajaan Majapahit yang mengatur tindak pidana santet. Persoalan yang mengemuka dari tindak pidana santet berkaitan dengan sejauhmana kebutuhan masyarakat terhadap pengaturan tersebut dan sejauhmana kemampuan kepolisian dalam membuktikan tindak pidana tersebut. Oleh karena itu, tindak pidana sihir atau santet berpotensi menciptakan overreach criminal law karena ketidakmampuan hukum acara dan badan pelaksananya untuk menegakkan hukum tentang sihir dan santet.

Kenyataan serupa juga terjadi dalam penerapan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). UU TPPU memberikan kewenangan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menganalisis transaksi keuangan yang mencurigakan berdasarkan kelaziman jumlah transaksi yang biasa dilakukan. Transaksi keuangan dinilai mencurigakan manakala transaksi tersebut melebihi empat kali jumlah transaksi yang biasa dilakukan. Penilaian tersebut tidak disertai dengan penyelidikan terhadap asal dana diperoleh sehingga memungkinkan PPATK menggunakan asumsi dalam menilai transaksi. Dalam pelaksanaannya, seringkali kepolisian menerima begitu saja hasil analisis PPATK dan menyamakan transaksi keuangan mencurigakan dengan tindak pidana pencucian uang. Hal ini terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di Pengadilan Negeri Karawang yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan menggunakan bukti petunjuk yang bertentangan dengan keterangan saksi dan keterangan terdakwa, sedangkan pihak kepolisian dan kejaksaan tidak mampu mendatangkan hasil pemeriksaan pajak. Sejatinya, kepolisian dan kejaksaan membuktikan bahwa transaksi keuangan tersebut berasal dari tindak pidana sehingga memenuhi unsur tindak pidana pencucian uang.

Proses peradilan tersebut di atas memperlihatkan ketidakmampuan kepolisian dalam menangani persoalan. Kemampuan terbatas kepolisian dalam menangani perbankan membutuhkan ahli yang mendukung kerja kepolisian, sehingga hasil penyidikan tidak mengandung asumsi. Hasil penyidikan yang sarat asumsi menegaskan bahwa kepolisian, sebagai lembaga yang berwenang untuk menyidik, tidak mempunyai keahlian cukup sehingga alat perlengkapan hukum pidana tidak mampu menjangkau kebenaran substansi yang ingin dituju dalam UU TPPU. Dengan kata lain, politik kriminal dalam UU TPPU tidak mempersiapkan dengan baik lembaga pelaksana UU TPPU sehingga pengaturan UU TPPU berada di luar jangkauan kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

Seiring dengan kriminalisasi, dekriminalisasi juga mewarnai perkembangan hukum pidana. Salah satunya adalah dekriminalisasi terhadap Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP dengan manyatakan bahwa pasal-pasal tersebut tidak mengikat. Dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 6 Desember 2006 disebutkan bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP tidak sesuai dengan alam demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Disebutkan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi bahwa “dengan mempertimbangkan perkembangan nilai-nilai sosial dasar (fundamental social values) dalam masyarakat demokratik yang modern, maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat-pejabat pemerintah (pusat dan daerah)...”. Selain itu, pengertian ratu (koning) tidak dapat dipersamakan begitu saja dengan presiden. Ratu mempunyai keterkaitan sedemikian rupa dengan martabat negara, sedangkan kedudukan presiden, sekalipun berhak mendapat perhormatan secara protokoler, tidak diperkenankan memperoleh hak istimewa yang membedakannya dengan masyarakat pada umumnya. Hal ini sejalan dengan prinsip persamaan di muka hukum. Oleh karenanya, manakala penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden bersifat pribadi, maka dicukupkan menggunakan Pasal 310 KUHP. Sebaliknya, manakala perhinaan ditujukan kepada presiden sebagai kepala negara, maka dapat diterapkan Pasal 207 KUHP. Dekriminalisasi ini menegaskan bahwa secara historis, perubahan pengertian koning menjadi president dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie tidak mempunyai dasar legitimasi sosio politik yang kuat, sehingga pasal-pasal tersebut tidak perlu dipertahankan.

Serupa dengan kriminalisasi, proses dekriminalisasi sejatinya memperhatikan dimensi sosial. Dekriminalisasi bertujuan untuk melakukan reformasi hukum pidana sejalan dengan iklim politik yang demokratis. Penghapusan UU subversif, misalnya, menunjukkan bahwa represi negara atas rakyatnya dengan menggunakan nama hukum tidak sejalan dengan fungsi-fungsi hukum (pidana) untuk mengatur perilaku masyarakat dan membatasi gerak negara guna memberikan perlindungan hukum kepada warganya. Dengan membaiknya kehidupan berpolitik dan berbangsa berdasarkan demokrasi, maka UU Subversi tidak relevan lagi untuk dipertahankan.

Uraian di atas menguatkan pernyataan bahwa kebijakan hukum pidana mempunyai arti positif bagi reformasi hukum pidana manakala kebijakan hukum pidana mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi dan politik, serta mempersiapkan kemampuan badan pelaksana UU. Dalam tahapan inilah, kriminologi mempunyai peran penting dalam memberikan masukan tentang realitas sosial masyarakat sehingga ketentuan normatif yang diatur dalam hukum pidana sejalan dengan realitas sosial.

Kendati kriminologi dan hukum pidana berseberangan, namun sinergi keduanya dapat menciptakan kebijakan hukum pidana yang lebih terarah. Di satu sisi, kriminologi merupakan ilmu empirik yang bersentuhan dengan realitas sosial dinilai mampu menggambarkan kenyataan masyarakat yang sebenarnya. Namun demikian, kriminologi tidak mampu memberikan kata akhir guna mewujudkan pencegahan kejahatan. Di sisi lain, (kebijakan) hukum pidana merupakan ilmu normatif yang membutuhkan masukan tentang fakta empirik masyarakat. Kemampuan hukum pidana terletak pada pengugeran norma melalui mekanisme yang jelas. Karena itu, kualitas norma yang diatur dalam hukum pidana bergantung kepada sejauh mana kriminologi memberikan masukan tentang realitas sosial yang perlu diatur sehingga norma hukum pidana menjadi lebih berisi.
Sejalan dengan sinergi hukum pidana dan kriminologi, Profesor Sahetapy menegaskan bahwa “... kriminologi menghidupkan dengan memberi masukan dan dorongan pada hukum pidana dan sebaliknya hukum pidana memberi bahan studi dan data kepada kriminologi mengenai pelbagai ketentuan dan ancaman pidana...”.

Tanpa sinergi keduanya, maka kriminologi tidak lebih dari ilmu empirik yang hanya menggambarkan kausa kejahatan, tanpa disertai kemampuan untuk memberikan sentuhan akhir dalam bentuk penanggulangan kejahatan. Sebaliknya, hukum pidana tanpa krimonologi menjadi kosong karena mungkin saja hukum pidana keliru memindai perilaku-perilaku masyarakat yang seharusnya diatur dalam hukum pidana.

Pengkajian kejahatan dengan menggunakan kriminologi harus selalu membumi dengan keadaan masyarakat. Dikatakan demikian karena taqlid buta terhadap konsepsi kriminologi negara maju justru menjauhkan krimiologi dan hukum pidana dari keadaan nyata masyarakat. Dalam konteks itu, pengkajian tentang kejahatan yang hendak diatur dalam hukum pidana harus selalu sejalan dengan nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural (“sobural”) masyarakat Indonesia. Dari segi nilai sosial, masyarakat selalu bergerak dalam skala nilai sosial tertentu. Adakalanya nilai sosial memiliki legitimasi yang kuat di masyarakat sehingga tidak diperlukan ancaman sanksi untuk menjaga nilai sosial tersebut. Sebaliknya, terdapat nilai sosial yang dirasakan begitu lemah di masyarakat sehingga hukum pidana dapat mempertimbangkan untuk melakukan kriminalisasi dan menerapkan sanksi pidana untuk menjaga eksistensi nilai sosial tersebut. Nilai sosial menggambarkan sesuatu yang abstrak berdasarkan sesuatu yang riil dan konkrit sehingga meliputi nilai sosial yang baik dan buruk. Dari segi aspek budaya, kriminologi menganalisis sampai sejauh mana aspek budaya mendorong kepatuhan lahiriah dalam kontekstualisasi realitas sosial termasuk di dalamnya kepatuhan terhadap lembaga hukum. Adapun faktor struktural lebih menekankan kepada raison d’etre, apakah dalam melaksanakan nilai sosial dan aspek budaya berdasarkan kesediaan tanpa pamrih ataukah berdasarkan keterpaksaan.

Sobural merupakan kesatuan konsepsi yang bertujuan untuk menyeimbangkan dimensi kehidupan sosial dalam pengaturan hukum. Dominasi nilai sosial terhadap aspek budaya justru menciptakan pengaturan represif yang mengedepankan idealitas dan mengabaikan diversitas masyarakat. UU Pornografi, misalnya, yang hanya menekankan nilai sosial di atas aspek budaya berpotensi merepresi bentuk diversitas budaya masyarakat. Dalam konteks ini, (kebijakan) hukum pidana yang terkandung dalam UU Pronografi tidak dapat melakukan tugasnya untuk mengatur masyarakat dan menyelesaikan permasalahan yang melingkupinya, tapi justru sebaliknya, menimbulkan persoalan baru yang sangat mungkin tidak dapat diselesaikan oleh hukum pidana. Oleh karena itu, dibutuhkan keseimbangan dalam sobural agar dapat menciptakan hukum pidana yang membumi.

C. Hukum Pidana: Segi Normatif dari Hukum Pidana

Berbeda dengan kriminologi yang merupakan ilmu empirik yang membicarakan kejahatan dan penyimpangan sebagai fenomena sosial, hukum pidana merupakan ilmu normatif yang melakukan perumusan in abstracto tentang perbuatan terlarang. Hukum pidana menformulasi bentuk-bentuk perbuatan yang seharusnya dilarang dan diancam dengan pidana dalam rangka menciptakan ketertiban masyarakat. Persoalan hukum pidana merupakan persoalan yang melibatkan hubungan negara dan masyarakat yang menempatkan keduanya dalam kedudukan yang sama sentralnya. Di satu sisi, hukum pidana dapat diartikan sebagai penegakan norma oleh penguasa dengan menerapkan sanksi terhadap siapapun yang melanggar aturan hukum pidana. Penegakan norma harus didahului dengan pembentukan aturan hukum yang berfungsi untuk menjaga norma tersebut. Di sisi lain, penegakan norma oleh negara dibatasi sedemikian rupa berdasarkan aturan hukum sehingga tidak melanggar hak-hak warga negara. Dengan demikian, hukum pidana dituntut untuk menjalankan fungsi dalam merekayasa hukum untuk ketertiban masyarakat serta menjaga hak-hak masyarakat dari kesewenangan negara.

Hukum pidana mengatur syarat-syarat pemidanaan dan pidana. Profesor Herbert L Packer merinci bahwa hukum pidana terdiri dari tiga prinsip dasar. Pertama, tindak pidana yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kedua, pertanggungjawaban pidana yang mengatur tentang kesalahan pembuat tindak pidana. Ketiga, pidana yang merupakan nestapa bagi pembuat tindak pidana sebagai akibat dari tindak pidana dan kesalahan. Rangkaian ketiga prinsip tersebut tidak terlepas dari prinsip keadilan yang hendak dibangun hukum pidana. Di satu sisi, pelanggar hukum harus tetap memperoleh peringatan terhadap pelanggaran norma. Di sisi lain, pengenaan pidana harus tetap didasarkan pada tindak pidana dan kesalahan pembuat sehingga pengenaan pidana harus tetap menekankan prinsip keadilan.

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh UU dan diancam dengan pidana. Penentuan tindak pidana selalu berpegang teguh kepada asas legalitas. Dengan kata lain, penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana harus didasarkan kepada peraturan tertulis yang melarang perbuatan tertentu. Dengan begitu, masyarakat memperoleh kepastian hukum tentang kewajiban normatif dan kewajiban hukum yang harus dilakukan.

Sementara itu, kesalahan yang termasuk dalam lingkup pertanggungjawaban adalah dicelanya pembuat berdasarkan penilaian masyarakat karena pembuat diharapkan dapat berbuat lain dari pada tindak pidana. Kesalahan menunjuk kepada pembuat yang mempunyai kewajiban hukum dan kewajiban normatif untuk mematuhi hukum. Penentuan kesalahan bersifat eksternal-normatif karena penilaian berasal dari masyarakat terhadap pembuat, apakah dalam keadaan tersebut pembuat dapat diharapkan mematuhi hukum? Karenanya, kesalahan (pertanggungjawaban pidana) pembuat berfungsi sebagai penyeimbang terhadap tindak pidana karena pembuat tindak pidana tidak serta merta dapat dipidana manakala dibuktikan bahwa dalam keadaan tertentu pembuat tidak dapat diharapkan berbuat selain tindak pidana.

Asas legalitas yang menjadi prasyarat bagi tindak pidana dan asas kesalahan mencerminkan prinsip-prinsip monodualistik yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu secara seimbang. Oleh karenanya, prinsip hukum pidana berorientasi kepada perbuatan dan pembuatnya (daad en daaderstrafrecht). Di satu sisi, asas legalitas memberikan kepastian hukum bagi masyarakat baik tentang aturan hukum yang dibentuk dalam rangka menciptakan ketertiban maupun tentang ancaman nestapa yang diberlakukan terhadap sebagian masyarakat yang tidak memenuhi kewajiban hukum dan kewajiban normatif. Di sisi lain, asas kesalahan dalam hukum pidana memberikan metode kepada masyarakat untuk melihat personalitas pembuat tindak pidana. Dalam konteks yang terakhir ini, masyarakat membuat penilaian normatif tentang keadaan-keadaan yang dihadapi pembuat sehingga pembuat melakukan tindak pidana. Dalam keadaan tertentu, pembuat berada dalam keadaan yang memaksanya melakukan tindak pidana sehingga tindak pidana tidak dapat dipersalahkan kepadanya. Sebaliknya, dalam keadaan tertentu pembuat tindak pidana tidak menghindari tindak pidana meskipun secara kapabilitas dan kondisional pembuat dinilai dapat menghindari perbuatan terlarang.

Dengan demikian, kepentingan sosial yang tertuang dalam penetapan tindak pidana harus mempertimbangkan kesalahan pembuat sebagai dasar dalam menerapkan sanksi pidana. Dengan kata lain, sanksi tidak tunduk kepada tindak pidana yang memuat ancaman pidana tapi tunduk kepada kadar kesalahan pembuat atas tindak pidana.

Dengan mengacu kepada keseimbangan perbuatan dan pembuat, maka pemidanaan harus selalu berorientasi kepada resosialisasi terpidana. Sanksi pidana tidak dapat direduksi sebagai nestapa belaka yang diwujudkan dengan perampasan kemerdekaan, tapi pidana harus diterapkan berdasarkan karakteristik pembuat yang memungkinkan tercapainya resosialisasi terpidana untuk diterima kembali dalam lingkungan masyarakat. Dalam konteks inilah, diperlukan kebijakan pidana integratif yang mengelaborasi fungsi penghukuman terhadap pembuat dan pencegahan kejahatan. Dengan demikian, pemidanaan secara integrarif secara prinsipil memadukan berbagai macam tujuan pemidanaan yang berakhir kepada perlindungan sosial dan individu atau dengan kata lain, pemidanaan integratif dapat menjaga ketertiban sosial dan mengembalikan terpidana di tengah-tengah masyarakat.

Secara implementatif, pelaksanaan pidana integratif harus mensejajarkan pidana (straf) yang mengandung penderitaan dan tindakan (maatregel) yang mengandung unsur edukatif. Dalam konteks sistem pemidanaan dua jalur (double track system), sanksi tindakan tidak bersifat sekunder yang ditambahkan atas pidana perampasan kemerdekaan, tapi baik sanksi pidana maupun tindakan merupakan dua macam sanksi pidana pokok yang sejajar dalam hukum pidana. Dengan penggunaan sanksi pidana dan sanksi tindakan, maka pidana terhadap terpidana tidak selalu berupa perampasan kemerdekaan jika perbuatan yang dilakukan sangat sepele dan terpidana sangat mungkin disadarkan dengan sanksi tindakan.

Sejauh ini, hukum pidana Indonesia masih memandang sanksi tindakan dengan sebelah mata. KUHP hanya mengatur sanksi pidana dalam Pasal 10 KUHP berupa pidana perampasan nyawa, perampasan kemerdekaan dan denda sebagai pidana pokok. Sementara itu, sanksi tindakan hanya diperuntukkan bagi pembuat tindak pidana yang tidak mampu bertanggung jawab disebabkan penyakit jiwa untuk dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa atau pembuat tindak pidana yang belum dewasa yang diserahkan kepada pemerintah untuk mendapat pendidikan negara. Di negara-negara maju, sanksi tindakan menjadi primadona karena terbukti efektif untuk meresosialisasikan terpidana. Sementara itu, Rancangan KUHP memandang pentingnya pengaturan sanksi tindakan untuk perbuatan tertentu yang harus terlebih dahulu diatur dalam UU. Kendati demikian, pengaturan sanksi tindakan dalam RKUHP masih bersifat sekunder dan mengacu kepada sanksi pidana.

Sejalan dengan prinsip hukum pidana yang berorientasi kepada perbuatan dan pembuat, maka seyogiayanya pemidanaan juga menyeimbangkan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan, serta menempatkan keduanya dalam kedudukan sejajar. Berdasarkan asas legalitas, UU mengatur perbuatan tertentu yang dihukum dengan sanksi pidana dan perbuatan tertentu lainnya dapat dipidana dengan tindakan. Sanksi tindakan muncul sebagai alternatif baru pemidanaan karena pidana penjara dinilai tidak efektif untuk tujuan-tujuan pembinaan. Justru pidana penjara menciptakan penjahat baru yang lebih terdidik dibandingkan dengan penjahat (ringan) yang pertama kali masuk penjara. Di satu sisi, sanksi tindakan dapat mengoptimalkan kemampuan terpidana untuk memberikan kontribusi kepada masyarakat melalui kerja sosial dan tindakan lain yang bermanfaat. Di sisi lain, sanksi tindakan mengurangi populasi terpidana yang melebihi kapasitas penjara yang terbatas.

Selain hukum pidana materiil yang mencerminkan fungsi primer hukum pidana dalam bentuk pengaturan hukum guna mencapai ketertiban masyarakat, hukum pidana formil justru menekankan pengaturan terhadap perilaku aparatur hukum dalam menegakkan keadilan. Dalam konteks ini, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mencerminkan fungsi sekunder hukum pidana yang membatasi ruang gerak aparatur hukum demi menjaga hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana sebagai warga negara (policing the police). Perhatian utama KUHAP adalah perlindungan hak asasi terdakwa agar tidak menjadi korban dari represi negara. Hal ini tercermin dari pergeseran dari HIR yang menekankan pengakuan tesangka/terdakwa ke KUHAP yang menekankan kepada keterangan tersangka/terdakwa. Pada pemeriksaan terhadap keterangan tersangka atau terdakwa, hak-hak tersangka atau terdakwa harus tetap dilindungi. Prinsip yang melindungi hak tersangka atau terdakwa juga tampak dalam asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent), non self incrimination dan right to remain silent.


D. Hukum Pelaksanaan Pidana

Rangkaian terakhir dari dimensi hukum pidana adalah pelaksanaan pidana yang harus tetap berorientasi kepada kepentingan terpidana untuk dapat kembali membaur dengan masyarakat. Sejauh ini, hukum pidana Indonesia tidak mempunyai pengaturan yang komprehensif tentang pola dan pedoman sanksi pidana, sehingga landasan dan hasil dari pemidanaan tidak dapat diukur dengan pasti. Pola pemidanaan menunjuk kepada usaha penyusunan sanksi pidana yang dilakukan oleh legislatif, sedangkan pedoman pemidanaan menunjuk kepada penjatuhan yang dilakukan oleh hakim dan pelaksanaan pidana yang dilaksanakan oleh Departemen hukum & HAM. Dengan demikian, sanksi pidana mewarnai setiap proses dari sistem peradilan pidana.

Dapat dikatakan bahwa penerapan pidana diabaikan dalam hukum pidana Indonesia. Hukum tidak menyediakan pengaturan tertulis secara komprehensif tentang pelaksanaan pidana sehingga kontrol terhadap pelaksanaan pidana relatif terabaikan. Kenyataan ini berpotensi menimbulkan pelanggaran hak-hak terpidana karena tidak adanya pengaturan yang membatasi pelaksanaan pidana. Manfaat lain dari pedoman pemidanaan adalah melakukan kontrol yang intensif atas perkembangan terpidana selama menjalani sanksi pidana. Badan pelaksana (lembaga pemasyarakatan) dapat menerapkan sanksi pidana sesuai dengan putusan pengadilan, manakala terpidana tidak menunjukkan perkembangan positif selama menjalani pidana. Sebaliknya, badan pelaksana dapat memberikan pengurangan hukuman manakala terpidana menunjukkan perkembangan positif berdasarkan data-data obyektif sehingga dimungkinkan dilakukannya resosialisasi sebelum masa hukuman selesai. Hal ini perlu dilakukan karena tujuan utama pidana adalah mengupayakan resosialisasi terpidana agar bersama dengan masyarakat dapat menjaga ketertiban sosial. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengaturan yang lebih komprehensif karena UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan tidak menyediakan perangkat yang memadai untuk melaksanakan pidana integratif yang menyeimbangkan penderitaan nestapa kepada terpidana dan resosialisasi terpidana di tengah-tengah masyarakat. Perhatian sistem pemasyarakatan masih menitikberatkan kepada persoalan administratif dan tidak memberikan dasar-dasar yang logis terkait dengan pengurangan pidana (remisi).


E. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka sepatutnya syarat syarat pemidanaan dan pidana harus didasarkan pembahuruan hukum pidana. Hal ini juga termasuk pelaksanaan pidana yang tidak lagi diorientasikan kepada penghukuman semata melainkan juga didasari tujuan resosialisasi terpidana.

Oleh karena itu, spektrum hukum pidana harus selalu bertaut sejak kebijakan pidana itu dibuat agar sejalan dengan arah pembaharuan hukum pidana nasional sehingga dilahirkan pengaturan yang komprehensif yang bertujuan untuk memenuhi fungsi hukum pidana dan memperhatikan kemampuan badan pelaksana keadilan.

Namun di atas itu semua, hukum pidana tetap berpijak pada upaya memanusiakan manusia karena, sebagaimana diungkapkan oleh profesor Sudarto, bahwa hukum pidana tidak bisa dilepaskan dari manusia, oleh karenanya hukum pidana harus tetap berorientasi kepada manusia dan menjaga kasih sayang terhadap manusia.


 Makalah ini disampaikan dalam Pelatihan Dasar Bantuan Hukum (PDBH) yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Bantuan Hukum Mahasiswa Islam di Graha Insan Cita, Depok Jawa Barat tanggal 18 April 2009.

 Advokat di Jakarta, menyelesaikan studi hukum dengan kekhususan hukum pidana di Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 2004. Saat ini menyelesaikan program Pasca Sarjana dengan kekhususan sistem peradilan pidana di Universitas Indonesia.

Sudarto, Sumbangan Kriminologi untuk Politik Hukum Pidana, dalam: Hukum dan Hukum Pidana,(Bandung: Penerbit Alumni, 1986)hlm. 150-151.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan KUHP Baru, (Jakarta: Penerbit Prenada Kencana,2008) hlm. 19-24. Dalam berbagai literatur, kebijakan hukum pidana lazim juga disebut dengan politik hukum pidana.

Marc Ancel, Social Defence: A Modern Approach to Criminal Problem, (London: Routledge & Kegan Paul, 1965), hlm. 4-5

GP Hoefnagels, The Other Side of Criminology, (Kluwer Deventer, 1973), hlm. 57

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 159; Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm 20

Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.
Ibid, hlm. 26.

Dapat dilihat Pasal 223 Rancangan KUHP tahun 1991/1992 (sampai Bulan Maret 1993).

Barda Nawawi Arief, Masalah Sihir atau Santet dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, dalam : Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 291-300.

Kasus tersebut dapat dilihat dalam perkara nomor 446/Pid/B/2008/PN KRW. Dalam persidangan, Penulis yang menjadi kuasa hukum terdakwa mengkritik penilaian PPATK terhadap transaksi keuangan yang dilakukan terdakwa yang tidak didasarkan kepada keadaan faktual untuk menentukan adanya transaksi mencurigakan. Sementara itu, kepolisian menyebutkan adanya tindak pidana pencucian uang hanya didasarkan pada hasil pemeriksaan PPATK. Keterangan ahli dari PPATK mengakui bahwa penilaian PPATK didasarkan pada asumsi.

Penulis menggolongkannya sebagai dekriminalisasi, bukan depenalisasi karena Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP dinyatakan tidak berkekuatan hukum mengikat sehingga tidak dapat diberlakukan dan tidak memungkinkan adanya mekanisme dengan menggunakan hukum perdata atau administrasi untuk menerapkan pasal tersebut. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka tindak pidana yang diatur dalam Pasal 134, Pasal 136 bis dan Pasal 137 KUHP tidak lagi menjadi tindak pidana. Dalam hal depenalisasi, maka pidana yang dicabut tapi masih memungkinkan untuk menggunakan Pasal tersebut dengan mekanisme hukum perdata ataupun hukum administrasi negara.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006 tanggal 6 Desember 2006, hlm. 58
JE Sahetapy, Pisau Analisis Kriminologi, Pidana pengukuhan Guru Besar dalam Kriminologi disampaikan di Universitas Airlangga pada tanggal 30 Juli 1983.

Sobural merupakan akronim dari Nilai sosial, aspek budaya dan faktor struktural. Tujuan utama konsepsi sobural adalah agar kriminologi dan hukum pidana didasarkan kondisi riil masyarakat sehingga mekanisme penanggulangan kejahatan dan asas hukum benar-benar lahir dari kenyataan sosial yang berkembangan di masyarakat. Oleh karena, konsepsi dan teori kriminologi yang populer di negara barat harus lebih dulu ditakar untuk diterapkan di Indonesia. Konsepsi ini diperkenalkan oleh Profesor Sahetapy pada pidato pengukuhan guru besar beliau dalam bidang kriminologi di Universitas Airlangga.

JE Sahetapy, Sobural: Sebuah Konsep Kriminologis, dalam: Pisau Analisis Kriminologi, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bhakti, 2005), hlm. 68.

JE Sahetapy, Pemahaman “Sobural”, dalam: Pisau Analisis Kriminologi, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bhakti, 2005), hlm. 82-84.
Edwin Sutherland, Donald Ray Cressey & David F Luckenbill, Principles of Criminology, (Lanham: Altamitra Press, 1992), hlm. 3 eleventh Edition.

Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003) terjemahan Tristam Pascal Moeliono

Herbert L Packer, The limit of the Criminal Sanction,(Palo Alto: Stanford University Press,1968).
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 1993);

Chairul Huda, Dari “Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006)

Pandangan hukum pidana yang berorientasi kepada perbutan dan pembuat (daad en daaderstraafrecht) merupakan elaborasi dari pandangan hukum pidana yang telah ada sebelumnya, yaitu hukum pidana yang menekankan kepada perbuatan sebagai alasan pemidanaan (daad straafrecht) dan hukum yang menekankan kepada pembuat sebagai alasan pemidanaan (daader straafrecht). Tentang perkembangan diskursus tersebut, dapat dilihat dalam Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1986).

Ibid, hlm 60-61
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003).

Pasal 101 dan seterusnya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, 2008.
Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983)