Minggu, 18 Mei 2014

PENYADAPAN, RKUHP DAN RKUHAP Pengaturan penyadapan dalam RKUHP dan RKUHAP menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Bagi sebagian orang, pengaturan penyadapan dalam kedua RUU tersebut dinilai sebagai upaya membatasi kewenangan KPK, sehingga berpotensi menghambat pemberantasan korupsi. Dalam pemberantasan korupsi, penyadapan menjadi kewenangan yang sangat efektif dalam memberantas korupsi, khususnya tindak pidana yang berkaitan dengan suap. Pertanyaan yang muncul sekarang adalah apakah benar ketentuan penyadapan dalam kedua RUU itu dibuat untuk membatasi kewenangan KPK? Pertanyaan ini dapat dijawab secara obyektif dengan menelaah ketentuan tentang penyadapan dalam RKUHP dan RKUHAP. Penyadapan diatur dalam Pasal 300 RKUHP dengan ancaman pidana satu tahun penjara atau denda maksimal kategori II. Terdapat dua hal penting dalam pasal tersebut untuk menegaskan bahwa ketentuan penyadapan tidak menghambat kewenangan KPK. Pertama, dalam Pasal 300 RKUHP disebutkan secara tegas frasa "secara melawan hukum" yang bertujuan untuk membatasi agar orang-orang yang berhak tidak terkena pasal ini. Penyadapan dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Ketentuan ini tidak mereduksi kewenangan penyadapan KPK karena penyadapan merupakan kewenangan berdasarkan UU KPK. Kedua, kewenangan penyadapan berdasarkan Pasal 12 UU KPK merupakan alasan pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukum dari penyadapan yang diatur dalam Pasal 300 RKUHP. Alasan pembenar ini secara tegas diatur dalam Pasal 31 RKUHP yang menyatakan bahwa setiap orang yang melaksanakan perintah UU tidak dipidana meski perbuatan tersebut terlarang. Dalam konteks ini, penyadapan KPK tidak berbeda dengan pelaksanaan pidana mati dengan cara menembak dan penahanan yang mengurangi kebebasan orang lain. Pelaksanaan pidana mati tidak melanggar Pasal 338 KUHP (doodslag) karena hal itu merupakan perintah UU. Dengan demikian, Pasal 300 RKUHP tidak menghambat kewenangan penyadapan KPK. Sementara itu berdasarkan Pasal 83 dan Pasal 84 RKUHAP, penyadapan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana tertentu, termasuk korupsi dan pencucian uang berdasarkan perintah tertulis dari atasan penyidik setelah mendapat ijin dari hakim komisaris. Bagi sebagian kalangan, ketentuan tersebut dapat membebani KPK dan menciptakan inefektifitas karena dibutuhkan kecepatan dan kerahasiaan dalam melaksanakan penyadapan. KPK sendiri beralasan bahwa selama ini penyadapan telah diaudit oleh lembaga yang kredibel sehingga tidak diperlukan ijin dari hakim komisaris. Apakah tepat fungsi pengawasan seperti itu? Persoalan penyadapan harus dipandang sebagai salah satu rangkaian penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP). Sebagai bagian dari SPP, maka penyadapan harus memenuhi beberapa syarat. Pertama, ketentuan dan prosedur penyadapan harus diatur dalam UU. Sejauh ini, Pasal 12 UU KPK hanya mengatur ketentuan penyadapan, sedangkan prosedur penyadapan diatur dalam Standard Operating Procedure (SOP) yang dibuat secara internal oleh KPK. Hal ini tidak dapat dibenarkan karena ketentuan dan prosedur hukum acara pidana harus dibuat dalam UU karena berpotensi melanggar hak asasi. Oleh karena Pasal 12 UU KPK tidak mengatur prosedur penyadapan, maka Pasal 12 UU KPK akan mengikuti prosedur yang diatur dalam RKUHAP, jika nantinya RKUHAP disahkan menjadi UU. Kedua, diskresi untuk menggunakan penyadapan bersifat tertulis dan merujuk kepada UU. Diskresi dalam hukum pidana didasarkan pada asas legalitas dan bertujuan untuk mengurangi hak orang. Oleh karenanya, setiap keputusan diskresional dalam penegakan hukum harus tertulis dan merujuk kepada UU agar menjamin bahwa perampasan hak hanya dilakukan untuk tujuan hukum. Prinsip ini juga berlaku bagi KPK manakala menggunakan kewenangan penyadapan yang berpotensi melanggar hak tersadap. Ketiga, adanya pengawasan terhadap diskresi penyadapan dan dapat diuji. Dalam konteks inilah Pasal 83 RKUHAP dirumuskan agar tercipta pengawasan dari lembaga pengadilan (melalui hakim komisaris) sebagai lembaga sentral dalam SPP. Sebagai subsistem, KPK tidak bisa bergerak sendiri. Terdapat keterkaitan dengan subsistem lainnya yang berpusat pada pengadilan. Selain pengawasan, keputusan diskresional tentang penyadapan bertujuan untuk memberikan ruang bagi pihak yang berkepentingan untuk dapat menguji keabsahan dari sebuah keputusan penegakan hukum. "Dasar uji" ini menjadi tolak ukur atas akuntabilitas dari keputusan penegak hukum. RKUHAP berusaha memberikan fondasi bagi sistem peradilan pidana yang modern dan akuntabel. Untuk tujuan itu, setiap tindakan penegakan hukum harus didasarkan pada UU dan keputusan diskresional (tertulis) yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk tujuan itu pula, pihak-pihak yang berkepentingan harus dilibatkan untuk mengawasi dan menguji. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan yang berimbas pada pelanggaran hak-hak tersangka dan terdakwa. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan syarat bagi pembangunan demokrasi. Hal ini mensyaratkan setiap tindakan negara yang berpotensi melanggar hak warga negara harus benar-benar didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Ironis, jika kita menuntut perbaikan sistem politik yang demokratis tapi memandang pembangunan sistem peradilan pidana dengan sebelah mata. Sebab, pengabaian terhadap pembangunan SPP yang akuntabel berarti memberikan ruang yang sedemikian besar kepada negara untuk merampas hak-hak warga negara. Oleh karenanya, perbaikan sistem peradilan pidana harus diletakkan dalam usaha besar untuk membangun demokrasi. Akhirnya kita mengharap RKUHP dan RKUHAP menjadi "karya agung" dari hukum Indonesia setelah sekian lama kita mrnggunakan KUHP warisan kolonial. Upaya ini memerlukan kritik obyektif dan membuang jauh-jauh tendensi tanpa dasar.
PENTINGKAH DIKTUM "PERINTAH MASUK"? Beberapa hari lalu, eksekusi terhadap Susno Duadji diwarnai kericuhan. Susno menolak dieksekusi oleh tim eksekutor dari Kejaksaan Tinggi DKI. Penolakan tersebut didasarkan pada alasan bahwa putusan terhadap Susno batal demi hukum karena tidak mencantumkan diktum "perintah masuk" sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Sepenting apakah diktum tersebut sehingga menyebabkan putusan batal demi hukum? Dan kenapa hakim mengabaikan diktum tersebut? Putusan Susno bukanlah pertama kalinya terjadi. Putusan serupa yang tidak mencantumkan diktum "perintah masuk" sering kali dianggap sebagai persoalan sepele oleh sebagian hakim. Perdebatannya telah berlangsung lama dan persoalan ini menemukan momentumnya dalam eksekusi Susno. Putusan pengadilan, sama halnya dengan dakwaan dan tuntutan adalah keputusan diskresional yang tunduk kepada cara-cara yang diatur dalam UU. Namun perlu digarsibawahi bahwa keputusan diskresional dalam hukum pidana berbeda dengan diskresi dalam hukum administrasi negara. Dalam hukum pidana, keputusan diskresional tunduk kepada asas legalitas dan bertujuan untuk merampas hak orang. Tindakan menahan, mendakwa, menuntut dan menjatuhkan pidana adalah bagian dari keputusan diskresional yang tunduk kepada UU. Berdasarkan asas legalitas, aturan hukum (UU) bertujuan untuk membatasi (bukan memberikan) kewenangan, sehingga penegak hukum hanya diperbolehkan menegakkan hukum dengan cara-cara limitatif yang diatur dalam UU. Pembatasan dilakukan untuk mencegah terlanggarnya hak secara berlebihan. Pada tingkat keputusan diskresional, asas legalitas mengharuskan adanya keputusan tertulis. Berdasarkan hal ini dapat ditarik dua kesimpulan penting. Pertama, ada ketentuan UU yang mengatur secara tegas tata cara penegakan hukum tertentu. Kedua, UU harus dikonkretisasi dalam keputusan diskresional agar dapat dilaksanakan (dieksekusi). Dengan kata lain, perampasan hak harus didasarkan pada dua hal, UU dan keputusan diskresional. Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP secara tegas mengatur bahwa putusan harus memuat perintah ditahan, tetap ditahan atau dibebaskan. Putusan menjadi batal demi hukum jika putusan tidak memuat perintah tersebut (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Ketentuan ini mengatur rezim kewajiban bagi hakim dalam membuat keputusan diskresional untuk memilih apakah terdakwa ditahan atau tetap ditahan manakala ia terbukti bersalah atau dibebaskan jika tidak terbukti melakukan tindak pidana. Pilihan ini bersifat imperatif dalam pengertian bahwa manakala hakim memutuskan bersalah dan menjatuhkan pidana penjara, maka hakim harus memerintahkan terdakwa ditahan atau tetap ditahan dalam diktumnya. Sekilas persoalan ini tampak sepele, namun sesungguhnya Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengandung dasar perlindungan hak terhadap warga negara yang menjadi terpidana. Hakim sebagai representasi negara tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk merampas hak tanpa alasan hukum yang sah dan menurut tata cara yang diatur dalam UU. Nilai dasar inilah yang dilupakan oleh Mahkamah Konstitusi ketika memutus perkara No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) KUHAP tidak mengikat. Ada tiga catatan penting dalam putusan tersebut. Pertama, Mahkamah Konstitusi melupakan prinsip dasar hukum acara pidana yang bertujuan melindungi hak tersangka dan terdakwa. Pasal 197 KUHAP tidak berkaitan dengan keterbatasan manusia yang memiliki banyak kekeliruan (hal 140), tetapi seharusnya dikaitkan dengan pembatasan kewenangan penegak hukum agar tidak mencerabut hak-hak warga negara. Perhatian utama pasal tersebut adalah pencegahan kesewenang-wenangan. Kedua, Mahkamah Konstitusi hanya mengutamakan substansi tetapi mengabaikan prosedur. Menurut Mahkamah, Pasal 197 KUHAP merupakan aturan formal yang tidak dapat mereduksi kebenaran materiel tentang kesalahan terdakwa. Dalam hukum pidana tidaklah demikian. Keadilan substantif dan keadilan formil dinilai sama pentingnya. Bahkan keadilan formil merupakan pintu masuk bagi hakim untuk menetapkan keadilan substantif (establishing the truth). Dalam konteks ini, maka Pasal 197 KUHAP merupakan bagian tidak terpisahkan dari usaha untuk mencapai kebenaran materiel. Tanpanya, syarat kebenaran materiel tidak terpenuhi. Ketiga, Mahkamah Konstitusi justru mengaburkan kepastian hukum dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Dalam pertimbangan hukumnya (hal 141), Mahkamah bersikap ambigu seolah menyatakan bahwa Pasal 197 KUHAP hanya berlaku bagi tindak pidana yang tidak menimbulkan kerugian, namun hal ini tidak ditindaklanjuti dalam petitum putusan. Uraian di atas memperlihatkan bahwa Pasal 197 KUHAP merupakan salah satu simbol perlindungan hak terhadap warga negara yang menjadi fundamen hukum acara pidana. Manakala kepastian atas perlindungan hak direduksi, maka fungsi hukum acara tidak berjalan dengan baik. Gambaran ini justru banyak ditemukan dalam putusan hakim. Kekeliruan dalam pencantuman putusan seringkali direduksi sebagai kesalahan clerical, meski hal itu berkaitan erat dengan hak-hak warga negara. Fenomena ini mengkuatirkan karena pengadilan (hakim) mulai menunjukkan pengabaian hak-hak warga negara. Selain pelanggaran terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, pelanggaran lainnya juga dapat dilihat dari beberapa kebijakan Mahkamah Agung yang menerima peninjauan kembali dari jaksa, menerima kasasi atas putusan bebas dan hal lainnya yang bertentangan dengan KUHAP. Akibatnya, banyak sekali putusan hakim yang tidak bersandar pada prinsip hukum. Dalam konteks yang lebih luas, gejala ini akan melemahkan sistem peradilan pidana. Penulis teringat peringatan Nicola Lacey dalam artikelnya "HUMANIZING THE CRIMINAL JUSTICE MACHINE" dalam Harvard Law Review (2013:1299) bahwa pengambilan keputusan yang pragmatis dan tidak berdasar prinsip hukum (unprincipled policymaking) dapat mempercepat runtuhnya sistem peradilan pidana. Ada baiknya hakim dan pengadilan memperhatikan peringatan ini.