Minggu, 18 Mei 2014

PENTINGKAH DIKTUM "PERINTAH MASUK"? Beberapa hari lalu, eksekusi terhadap Susno Duadji diwarnai kericuhan. Susno menolak dieksekusi oleh tim eksekutor dari Kejaksaan Tinggi DKI. Penolakan tersebut didasarkan pada alasan bahwa putusan terhadap Susno batal demi hukum karena tidak mencantumkan diktum "perintah masuk" sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP. Sepenting apakah diktum tersebut sehingga menyebabkan putusan batal demi hukum? Dan kenapa hakim mengabaikan diktum tersebut? Putusan Susno bukanlah pertama kalinya terjadi. Putusan serupa yang tidak mencantumkan diktum "perintah masuk" sering kali dianggap sebagai persoalan sepele oleh sebagian hakim. Perdebatannya telah berlangsung lama dan persoalan ini menemukan momentumnya dalam eksekusi Susno. Putusan pengadilan, sama halnya dengan dakwaan dan tuntutan adalah keputusan diskresional yang tunduk kepada cara-cara yang diatur dalam UU. Namun perlu digarsibawahi bahwa keputusan diskresional dalam hukum pidana berbeda dengan diskresi dalam hukum administrasi negara. Dalam hukum pidana, keputusan diskresional tunduk kepada asas legalitas dan bertujuan untuk merampas hak orang. Tindakan menahan, mendakwa, menuntut dan menjatuhkan pidana adalah bagian dari keputusan diskresional yang tunduk kepada UU. Berdasarkan asas legalitas, aturan hukum (UU) bertujuan untuk membatasi (bukan memberikan) kewenangan, sehingga penegak hukum hanya diperbolehkan menegakkan hukum dengan cara-cara limitatif yang diatur dalam UU. Pembatasan dilakukan untuk mencegah terlanggarnya hak secara berlebihan. Pada tingkat keputusan diskresional, asas legalitas mengharuskan adanya keputusan tertulis. Berdasarkan hal ini dapat ditarik dua kesimpulan penting. Pertama, ada ketentuan UU yang mengatur secara tegas tata cara penegakan hukum tertentu. Kedua, UU harus dikonkretisasi dalam keputusan diskresional agar dapat dilaksanakan (dieksekusi). Dengan kata lain, perampasan hak harus didasarkan pada dua hal, UU dan keputusan diskresional. Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP secara tegas mengatur bahwa putusan harus memuat perintah ditahan, tetap ditahan atau dibebaskan. Putusan menjadi batal demi hukum jika putusan tidak memuat perintah tersebut (Pasal 197 ayat (2) KUHAP). Ketentuan ini mengatur rezim kewajiban bagi hakim dalam membuat keputusan diskresional untuk memilih apakah terdakwa ditahan atau tetap ditahan manakala ia terbukti bersalah atau dibebaskan jika tidak terbukti melakukan tindak pidana. Pilihan ini bersifat imperatif dalam pengertian bahwa manakala hakim memutuskan bersalah dan menjatuhkan pidana penjara, maka hakim harus memerintahkan terdakwa ditahan atau tetap ditahan dalam diktumnya. Sekilas persoalan ini tampak sepele, namun sesungguhnya Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengandung dasar perlindungan hak terhadap warga negara yang menjadi terpidana. Hakim sebagai representasi negara tidak dapat menggunakan kekuasaannya untuk merampas hak tanpa alasan hukum yang sah dan menurut tata cara yang diatur dalam UU. Nilai dasar inilah yang dilupakan oleh Mahkamah Konstitusi ketika memutus perkara No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2) KUHAP tidak mengikat. Ada tiga catatan penting dalam putusan tersebut. Pertama, Mahkamah Konstitusi melupakan prinsip dasar hukum acara pidana yang bertujuan melindungi hak tersangka dan terdakwa. Pasal 197 KUHAP tidak berkaitan dengan keterbatasan manusia yang memiliki banyak kekeliruan (hal 140), tetapi seharusnya dikaitkan dengan pembatasan kewenangan penegak hukum agar tidak mencerabut hak-hak warga negara. Perhatian utama pasal tersebut adalah pencegahan kesewenang-wenangan. Kedua, Mahkamah Konstitusi hanya mengutamakan substansi tetapi mengabaikan prosedur. Menurut Mahkamah, Pasal 197 KUHAP merupakan aturan formal yang tidak dapat mereduksi kebenaran materiel tentang kesalahan terdakwa. Dalam hukum pidana tidaklah demikian. Keadilan substantif dan keadilan formil dinilai sama pentingnya. Bahkan keadilan formil merupakan pintu masuk bagi hakim untuk menetapkan keadilan substantif (establishing the truth). Dalam konteks ini, maka Pasal 197 KUHAP merupakan bagian tidak terpisahkan dari usaha untuk mencapai kebenaran materiel. Tanpanya, syarat kebenaran materiel tidak terpenuhi. Ketiga, Mahkamah Konstitusi justru mengaburkan kepastian hukum dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Dalam pertimbangan hukumnya (hal 141), Mahkamah bersikap ambigu seolah menyatakan bahwa Pasal 197 KUHAP hanya berlaku bagi tindak pidana yang tidak menimbulkan kerugian, namun hal ini tidak ditindaklanjuti dalam petitum putusan. Uraian di atas memperlihatkan bahwa Pasal 197 KUHAP merupakan salah satu simbol perlindungan hak terhadap warga negara yang menjadi fundamen hukum acara pidana. Manakala kepastian atas perlindungan hak direduksi, maka fungsi hukum acara tidak berjalan dengan baik. Gambaran ini justru banyak ditemukan dalam putusan hakim. Kekeliruan dalam pencantuman putusan seringkali direduksi sebagai kesalahan clerical, meski hal itu berkaitan erat dengan hak-hak warga negara. Fenomena ini mengkuatirkan karena pengadilan (hakim) mulai menunjukkan pengabaian hak-hak warga negara. Selain pelanggaran terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, pelanggaran lainnya juga dapat dilihat dari beberapa kebijakan Mahkamah Agung yang menerima peninjauan kembali dari jaksa, menerima kasasi atas putusan bebas dan hal lainnya yang bertentangan dengan KUHAP. Akibatnya, banyak sekali putusan hakim yang tidak bersandar pada prinsip hukum. Dalam konteks yang lebih luas, gejala ini akan melemahkan sistem peradilan pidana. Penulis teringat peringatan Nicola Lacey dalam artikelnya "HUMANIZING THE CRIMINAL JUSTICE MACHINE" dalam Harvard Law Review (2013:1299) bahwa pengambilan keputusan yang pragmatis dan tidak berdasar prinsip hukum (unprincipled policymaking) dapat mempercepat runtuhnya sistem peradilan pidana. Ada baiknya hakim dan pengadilan memperhatikan peringatan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar