Selasa, 19 Agustus 2008

DUALISME TENTANG DELIK: SEBUAH KECENDERUNGAN BARU DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA (draft)


Rancangan KUHP yang telah rampung dibahas oleh para ahli hukum pidana memberikan warna baru yang menekankan pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. RKUHP memisahkan unsur-unsur obyektif yang terkandung dalam perbuatan pidana dan unsur-unsur subyektif yang menjadi ranah pertanggungjawaban pidana sehingga keduanya terlepas dari lainnya dan diterapkan secara serial untuk dijadikan dasar pemidanaan. Pemisahan tersebut tidak dijumpai dalam KUHP sekarang yang memasukkan kesalahan (dalam arti luas) sebagai unsur subyektif dalam perbuatan pidana.Kendati mayoritas ahli hukum pidana menganut pandangan monistis tentang delik yang menyatukan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, namun perubahan paradigma baru dalam RKUHP dari monistis[1] kepada dualistis[2] mengindikasikan adanya proyeksi baru hukum pidana di masa mendatang dan memungkinkan pendalaman terhadap pandangan dualistis tentang delik. Langkah ini penting mengingat perubahan mendasar dalam RKUHP dapat melahirkan konsekuensi dalam melakukan analisis hukum pidana.Tulisan ini mencoba mengeksplorasi akar pertentangan antara pandangan monistis dan dualistis, pengaruh kedua pandangan tersebut dalam hukum pidana Indonesia dan kecenderungan baru dalam hukum pidana yang tertuang dalam legislasi di Indonesia. Tulisan ini juga akan menjelaskan pandangan dasar monistis dan dualistis untuk menganalisis keunggulan dan kelemahan konseptual maupuan teoritik guna menguatkan asumsi adanya kecenderungan baru dalam hukum pidana di Indonesia.A. MONISTIS DAN DUALISTIS1. MONISTISPerbedaan mendasar dari pertentangan antara monistis dan dualistis tentang delik terletak dalam pembahasan mengenai perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Kendati terdapat banyak perbedaan lainnya yang mewarnai perdebatan antara monisme dan dualisme, akar persoalan tersebut berasal dari unsur-unsur delik, makna kelakuan (plegen) dan kepembuatan (daderschap), dan pertanggungjawaban pidana sehingga melahirkan konsekuensi terhadap pandangan hukum pidana secara keseluruhan.[3] Beberapa tokoh monisme memberikan definisi strafbaar feit yang menjadi dasar perbedaan dengan pandangan dualisme. Simon[4] merumuskan bahwa strafbaar feit adalah.........“........suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Simon membagi unsur strafbaar feit menjadi dua bagian. Pertama, unsur objektif yang meliputi tindakan yang dilarang atau diharuskan, akibat dari keadaan atau masalah tertentu tertentu; dan unsur subyektif yang meliputi kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari petindak”.Sedangkan Pompe mendefinisikan strafbaar feit sebagai “suatu pelanggaran kaidah (penggangguan ketertiban hukum), terhadap mana pelaku mempunyai kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk menyelenggarakan ketertiban hukum dan menjamin kesejahteraan hukum”.[5]Definisi tersebut menunjukkan adanya dua unsur dalam strafbaar feit. Pertama, unsur obyektif yang meliputi kelakuan atau perbuatan yang mengandung sifat melawan hukum dan dilarang oleh UU. Kedua, unsur subyektif yang terdiri dari kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab pelaku. Berkaitan dengan unsur obyektif dan subyektif, Lamintang[6] menyebutkan bahwa unsur subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedangkan unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Lebih lanjut, Lamintang merinci unsur subyektif dan unsur obyektif dari perbuatan pidana sebagai berikut:a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.Adapun unsur-unsur obyektif dari perbuatan pidana terdiri dari :a. Sifat melanggar hukum;b. Kualitas dari pelaku, misalnya “keadaan sebagai pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatn menurut Pasal 398 KUHP;c. Kausalitas, yakni penyebab hubungan suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Dalam hal ini, Satochid[7] menegaskan adanya “akibat” dari perbuatan tertentu sebagai salah satu unsur obyektif dari perbuatan pidana.Pendapat yang sama dikemukakan oleh Jonkers sebagaimana dapat disimpulkan dari definisinya tentang strafbaar feit[8] sebagai “perbuatan yang melawan hukum yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.[9] Menurutnya, ”kesalahan atau kesengajaan selalu merupakan unsur dari kejahatan”.[10] Dengan demikian, ketidakmampuan bertanggung jawab dan ketiadaan kesalahan merupakan alasan pembebasan pelaku karena perbuatan pidana yang dituduhkan tidak terbukti.Pandangan monisme memiliki akar historis yang berasal dari ajaran finale handlungslehre yang dipopulerkan oleh Hans Welzel pada tahun 1931. Inti ajaran finale handlungslehre menyatakan bahwa kesengajaan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perbuatan.[11] Eksistensi kesengajaan yang termasuk dalam perbuatan disebabkan argumentasi utama finale handlungslehre, bahwa setiap perbuatan pidana harus didasari intensionalitas untuk mencapai tujuan tertentu sehingga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan final (final-subyektif). Dalam konteks ini, setiap bentuk perbuatan naturalistis yang ditentukan berdasarkan hubungan kausal tidak termasuk dalam perbuatan pidana.Karenanya, perbuatan pidana hanya ditujukan kepada perbuatan dan akibat yang ditimbulkan berdasarkan penetapan kesengajaan pelaku.Tujuan utama finale handlungslehre adalah menyatukan perbuatan pidana dan kesalahan, serta melepaskan perbuatan pidana dari konteks kausalitas. Dengan kata lain, ”perbuatan adalah kelakuan yang dikendalikan secara sadar oleh kehendak yang diarahkan kepada akibat-akibat tertentu. Jadi kesadaran atas tujuan, kehendak yang mengandalikan kejadian-kejadian yang bersifat kausal itu adalah suatu ”rugggeraat” dari suatu perbuatan final.[12] Untuk selanjutnya, pembahasan mengenai finale handlungslehre akan dibahas tersendiri dalam bab tentang teori kepembuatan (daderschap).2. DUALISTISBerbeda dengan monisme yang menjadikan kesalahan (kesengajaan) sebagai unsur subyektif dari perbuatan pidana, pandangan dualistis tentang delik bersikeras memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, unsur obyektif hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana. Atas dasar itu, perbuatan pidana hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu perbuatan dijatuhi pidana. Sedangkan unsur subyektif hanya dapat dikandung dalam pertanggungjawaban pidana yang ditujukan kepada pembuat melalui celaan yang diobyektifkan. Karenanya, pemidanaan hanya diterapkan kepada pembuat setelah terbukti melakukan perbuatan pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan.Pelaksanaan perbuatan pidana tidak serta merta menyebabkan seseorang dapat dipidana lantaran perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika dilanggar. Sementara itu, pemidanaan bergantung kepada kesalahan pembuat manakala melakukan perbuatan. Pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana ini nampak dalam definisi perbuatan pidana yang dikemukakan Moeljatno, ”...perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.[13]Dalam konteks pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, suatu perbuatan terjadi apabila perbuatan tersebut dirangkum dalam UU dan tidak dibenarkan oleh alasan pembenar. Atas dasar itu, unsur batin harus dilepaskan dari perbuatan pidana. Kantorowicz menyatakan, sebagaimana dikutip Abidin Farid,[14] bahwa perbuatan pidana (stafbare handlung) mensyaratkan adanya perbuatan, persesuaian dengan rumusan UU dan tidak adanya alasan pembenar. Sedangkan bagi pembuat disyaratkan adanya kesalahan dan tidak adanya dasar pemaaf.Pandangan ini juga diperkuat dalam Pasal 350 Wetboek van Strafvordering Nederland yang memerintahkan hakim yang memeriksa perkara dipersidangan agar mempertimbangkan dahulu apakah terdakwa terbukti mewujudkan strafbaarfeit, kalau sudah terbukti barulah hakim mempertimbangkan apakah terdakwa bersalah (strafbaarheid), kalau terbukti bersalah dan memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban, barulah hakim mempertimbangkan tentang pidana atau tindakan yang dijatuhkan.[15] Dari sini nampaknya pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana memudahkan hakim dalam memeriksa perkara di persidangan. Konsep gradualitas berjenjang yang diamanatkan Pasal 350 untuk digunakan dalam pemeriksaan perkara tidak terlepas dari konsep dualistis yang mengadakan diferensiasi perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain, ajaran dualistis tidak hanya berlaku di ranah hukum pidana materiel saja melainkan juga berlaku dalam hukum acara pidana terutama bagi hakim yang memeriksa perkara.Dalam konteks ini, ajaran dualistis menolak adagium actus non facit reum nisi mens sit rea (an act does not make a person guilty unless his mind is guilty) dengan alasan bahwa asas ini menyatukan actus reus dan mens rea sebagaimana dipahami ajaran monistis yang banyak dianut di negara-negara common law system seperti Inggris dan Amerika. Dalam pemahaman dualistis, dimungkinkan terjadinya perbuatan pidana meskipun tidak ada seorang pun yang dapat dipersalahkan atas perbuatan tersebut sehingga pembuat harus dilepas dari tuntutan hukum. Namun, apabila terdapat seseorang yang dapat dipersalahkan atas perbuatan tersebut, maka pembuat dapat dipidana. Karena itu, actus reus hanya menyangkut perbuatan yang meliputi unsur-unsur obyektif. Sementara itu, mens rea berkaitan dengan pertanggungjawaban (dapat dipidananya) pembuat.Secara historis, latar belakang ajaran dualistis dapat ditelusuri dari ajaran kausale handlungslehre yang menolak pandangan Welzel yang diformulasikan dalam finale handlungslehre. Menurut kausale handlungslehre, pusat perhatian hukum pidana adalah perbuatan (pidana). Setiap perbuatan yang tidak termasuk dalam kategori perbuatan pidana tidak menjadi perhatian hukum pidana. Mezger menyatakan pengertian perbuatan adalah ”substraat yang bersifat umum dari semua perbuatan pidana”.[16] Berdasarkan perspektif kausale handlungslehre, perbuatan terdiri dari perbuatan jasmaniah yang dikehendaki pembuat dan akibat-akibat yang bersifat lahiriah. Lebih lanjut, Mezger berpendapat mata rantai yang bersifat kausal dari akibat-akibat, yang telah digerakkan oleh kehendak dari subjek, akan berjalan terus sampai sesuatu yang tidak berakhir.[17] Namun, Mezger menggarisbahwahi ”keputusan kehendak” adalah bagian dari perbuatan (sifat melawan hukum subyektif)[18] dan harus dibedakan dari pertanggungjawaban pidana. Ia menyatakan ”...seberapa jauhkah keputusan kehendak juga merupakan isi kesadaran dari subjek, tidak penting bagi yang disebut perbuatan ini.Hal tersebut baru akan muncul pada tingkat kemudian, yaitu bilamana telah dipersoalkan mengenai kesalahan”.[19] B. PENGARUH MONISTIS DAN DUALISTISPenjajahan Belanda atas Indonesia memberikan pengaruh yang besar terhadap sistem hukum Indonesia. Melalui konkordansi, Indonesia mengadopsi hukum Belanda untuk diterapkan di Indonesia agar tidak terjadi kekosongan hukum. Dalam proses konkordansi tersebut, sistem hukum Belanda memberikan pengaruh yang besar terhadap pondasi sistem hukum Indonesia terutama sejak digunakannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang didasari ajaran monistis yang menjadikan kesalahan sebagai salah satu unsur perbuatan pidana.[20]Semula KUHP sekarang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1886 dan diberlakukan pada tahun 1915. Sejak tahun 1946, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diundangkan melalui UU Nomor 1 tahun 1946 tentang hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia. Kemudian melalui UU Nomor 73 tahun 1958, dinyatakan berlakunya UU Nomor 1 tahun 1946 untuk seluruh wilayah Indonesia. Sejak saat itu berlakulah satu KUHP di Indonesia.[21]Salah satu indikasi yang paling jelas terkait dengan ajaran monistis yang mendasari KUHP adalah penggabungan kata ”sengaja” atau ”diketahuinya” dengan unsur perbuatan pidana dalam satu rumusan delik. Penggabungan yang dapat ditemukan dalam setiap pasal KUHP itu menunjuk kepada kesengajaan (kesalahan) sebagai salah satu unsur perbuatan pidana. Lihat saja rumusan Pasal 372 KUHP yang menyatakan:”Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai miliknya sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan....” Berdasarkan rumusan tekstual yang menggabungkan ”sengaja” yang menjadi unsur kesalahan dan ”melawan hukum” yang menjadi unsur perbuatan pidana menyimpulkan ajaran monistis sebagai landasan utama KUHP. Kedudukan KUHP sebagai lex generalis yang menjadi acuan bagi UU yang memuat ketentuan pidana, turut memengaruhi ketentuan lex specialis dan UU lainnya (non-lex specialis) yang terpisah dari KUHP. Konstruksi penggabungan unsur perbuatan pidana dan kesengajaan banyak ditemukan di UU baru yang terpisah dari KUHP.Salah satu contohnya adalah UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan dalam Pasal 18 ayat 1, “Setiap orang yang secara melawan hukum dan dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.Meskipun UU Pers dipandang bukan sebagai lex specialis dari KUHP[22], pengaruh monisme sangat kental terlihat dalam rumusan pasal 18 ayat 1 UU Pers. Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur perbuatan pidana sementara tindakan merupakan inisiasi dari perbuatan pidana yang diwujudkan dalam bentuk kelakuan (plegen) secara aktif (komisi). Karena itu, keduanya seharusnya dipisahkan dari kata “sengaja”.Konstruksi serupa dapat ditemukan dalam Pasal 72 ayat 1 UU nomor 3 tahun 1999 tentang pemilihan Umum yang menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang sesuatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar pemilih, dipidana dengan hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun”. “Memberikan keterangan” adalah bentuk perbuatan. Karena delik hanya membicarakan tentang perbuatan, maka seyogianya segala hal yang berkaitan dengan kesengajaan tidak perlu dirumuskan dalam UU.Ajaran monistis yang mendapat dukungan besar di Belanda berangsur-angsur meredup. Kendati rumusan Wetboek van Strafrecht tidak mengalami perubahan tekstual yang menunjukkan perubahan dari monistis kepada dualistis, terdapat perubahan mendasar dalam paradigma hukum yang lebih mengedepankan ajaran dualistis. Unsur kesengajaan tidak lagi dipandang sebagai unsur subyektif dari perbuatan pidana melainkan suatu entitas tersendiri yang harus dilepaskan dari perbuatan pidana. Pergeseran paradigma hukum pidana dalam sistem hukum Belanda dapat disimpulkan dalam putusan Hooge Raad tahun 1924 yang menolak permohonan terdakwa dan menentukan bahwa kemampuan bertanggung jawab bukanlah unsur strafbaar feit melainkan (ketidakmampuan bertanggung jawab) merupakan alasan penghapus pidana.Moeljatno memberikan komentar atas putusan tersebut dengan mengatakan:“...pernyataan Hooge Raad bahwa kemampuan bertanggung jawab dipandang sebagai alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) dan bukan sebagai unsur strafbaar feit, dapatlah dipandang sebagai pengingkaran atas kebenaran pendapat yang klasik tentang makna strafbaar feit. Jika kemampuan bertanggung jawab bukan unsur delik pada hal orang tak mungkin dijatuhi pidana, kalau dia tidak mampu bertanggung jawab, maka itu berarti bahwa makna strafbaar feit adalah strafbaarheid van de persoon yang melakukan feit, sudah dilepaskan”.[23] Dengan begitu, penolakan terhadap ajaran monistis dalam hukum pidana dengan sendirinya ditujukan juga kepada ajaran finale handlungslehre. Berkaitan dengan hal ini, Remmelink menegaskan ”...konsep tindakan seperti dipahami ajaran tersebut mengimplikasikan bahwa, antara lain, opzet harus otomatis dipandang sebagai unsur perbuatan. Namun ini tidak sejalan dengan konsep pemisahan unsur kesengajaan dari tindak pidana sebagaimana dianut dalam sistem hukum Belanda”.[24]Kenyataan ini menunjukkan adanya keselarasan antara hukum pidana yang menganut ajaran dualistis dengan hukum acara pidana yang memerintahkan hakim untuk memeriksa perbuatan pidana terlebih dahulu, setelah perbuatan pidana terbukti, maka hakim melanjutkan pemeriksaan tentang kesalahan pembuat sebagaimana diatur dalam Pasal 350 Wetboek van Strafvordering Nederland.Sementara itu, Indonesia yang menerjemahkan KUHP Belanda untuk diterapkan di Indonesia, juga terpengaruh konstruksi monistis yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht. Ajaran monistis mendominasi pandangan hukum pidana Indonesia lantaran kurangnya kritik dari berbagai pihak yang berkutat dengan hukum pidana secara langsung maupun tidak langsung. Sementara itu, upaya revisi rancangan KUHP yang telah dimulai sejak beberapa dasawarsa berjalan lambat. Perdebatan kritis hanya bergulir secara terbatas dalam lingkup akademis. Sementara para praktisi hukum tidak tertarik dengan perdebatan monistis dan dualistis dan lebih menitikberatkan kepada teknis peradilan dan hukum acara.Pandangan dualistis yang memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana muncul pertama kali di Indonesia tatkala Moeljatno menyampaikan pidato dies natalis di Universitas Gajah Mada (1955) yang berjudul “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”. Tulisan tersebut mengawali pembedaan tegas antara perbuatan pidana yang merujuk kepada sifatnya perbuatan yang dilarang, dan pertanggungjawaban pidana yang hanya membahas tentang dapat dipidananya pembuat. Ajaran dualistis diteruskan kembali oleh Roeslan Saleh dan Abidin Farid. Sepanjang pengetahuan penulis, generasi baru yang memperjuangkan ajaran dualistis adalah Chairul Huda[25] dari Universitas Muhammadiyah Jakarta dan beberapa dosen di Universitas Hasanuddin.C. KECENDERUNGAN BARUKemunculan wacana dualistis tentang delik dalam hukum pidana mencoba memberikan alternatif baru menggantikan ajaran monistis dalam memahami hukum pidana. Kendati tokoh-tokoh monisme masih kuat dan banyak jumlahnya, pergeseran pandangan dari monisme kepada dualisme seolah tak terhindarkan.Fenomena ini didasari keberatan yang diajukan terhadap ajaran monisme dan finale handlungslehre. Pertama, alasan paling populer dalam perdebatan monistis dan dualistis adalah pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Dalam perspektif dualistis, penggabungan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban tidak dapat dibenarkan karena mencampurkan unsur obyektif dan subyektif dalam satu wadah sehingga tidak mampu mengurai kerumitan yang terdapat dalam hukum pidana. Diferensiasi tersebut bertujuan memberikan kemudahan dalam menganalisis hukum pidana dan menempatkan kedua sistematika secara proporsional. Perbuatan pidana selamanya tidak berkaitan dengan keadaan batin pembuat lantaran perbuatan hanya menunjuk kepada perilaku dan keadaan yang obyektif beserta akibat yang ditimbulkan.Kedua, ajaran monisme berpotensi melepaskan kejahatan dari jerat hukum pidana. Hal ini dapat terjadi manakala kejahatan yang telah memenuhi rumusan delik dan bersifat melawan hukum yang tidak dijustifikasi dengan alasan pembenar dinyatakan bukan sebagai perbuatan pidana lantaran dilakukan tanpa kesengajaan. Dalam konteks yang lebih luas, perspektif monisme atas perbuatan pidana bertentangan dengan tujuan hukum pidana untuk “menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum”[26] melalui kualifikasi kejahatan sebagai perbuatan pidana. Kendati kualifikasi kejahatan sebagai perbuatan pidana tidak serta merta menyebabkan pembuat dapat dipidana, kualifikasi tersebut sangat penting untuk melahirkan norma hukum bagi masyarakat. Dengan demikian, kendala untuk mengkualifikasi kejahatan menjadi perbuatan pidana justru menghambat upaya penegakan tertib hukum, keberlakuan norma dan perlindungan masyarakat hukum.Ketiga, ajaran monisme tidak mampu menjangkau delik artifisial yang bertolak belakang dengan delik-delik fisik.
Kecenderungan baru pada pandangan dualistis juga tampak dalam beberapa UU, antara lain UU Psikotropika yang hanya merumuskan bentuk perbuatan pidana tanpa disertai dengan kata “sengaja”. Dalam perspektif dualistis, rumusan tersebut dapat diterima lantaran delik hanya memformulasikan bentuk perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Formulasi semisal dapat pula ditemukan dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan:“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.Dari sudut ius constituendum, pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana nampak jelas dalam formulasi Rancangan KUHP. Dalam beberapa revisi Rancangan KUHP tahun 1991/1992, 1999/2000 dan 2004/2005, perbuatan pidana[27] dan pertanggungjawaban pidana[28] ditegaskan secara definitif dan dipisahkan dalam dua judul yang berbeda.Namun demikian, formulasi aturan hukum tidak menjamin penerapan ajaran dualistis dalam hukum pidana karena formulasi ajaran dualistis dalam aturan hukum hanya mencakup sisi regulasi dalam hukum pidana secara keseluruhan. Chairul Huda[29] mengklasifikasi penerapan ajaran dualistis dalam tiga tahap, yaitu tahap legislasi, tahap putusan pengadilan dan penegakan hukum pidana.Pertama, penerapan ajaran dualistis dalam aturan hukum tertulis seperti dalam RKUHP. Dengan sendirinya, penerapan ajaran dualistis dalam RKUHP (jika disetujui menjadi KUHP) mengharuskan legislasi UU menganut konstruksi dualistis dalam KUHP baru.Kedua, penerapan ajaran dualistis dalam dakwaan pidana (eksekusi). Formulasi monistis dalam KUHP turut memengaruhi konstruksi dakwaan pidana yang dibuat berdasarkan rumusan delik. Kesulitan penerapan ajaran dualistis dalam tahap ini sama dengan kesulitan dalam tahap putusan pengadilan.Ketiga, implementasi ajaran dualistis dalam putusan pengadilan pidana. Segmen putusan pengadilan ini mempunyai implikasi yang luas dalam sistem peradilan pidana. Karenanya, penegasan penerapan ajaran dualistis tidak hanya dibutuhkan dalam hukum pidana materiel (KUHP) melainkan juga diperlukan dalam hukum acara pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 350 Wetboek van Strafvordering Nederland guna mencegah kesenjangan antara hukum pidana dan hukum acara pidana. Seperti halnya KUHP, KUHAP selayaknya mengubah paradigma monistis menjadi dualistis sehingga tercipta penyesuaian antara aturan hukum materiel dengan aturan pelaksanaannya.Sementara itu, persoalan yang lebih mendasar terletak dalam paradigma hukum hakim yang mengadili, memeriksa dan memutus perkara pidana. Dengan penerapan hukum yang berorientasi praktis, hakim pidana hanya mengikuti aturan hukum yang ada tanpa disertai kritik-kritik yang konstruktif terhadap dasar-dasar KUHP sekarang. Pernyataan ini dapat disimpulkan dari beberapa putusan yang diteliti oleh Chairul Huda[30] dalam disertasinya yang menunjukkan bahwa putusan-putusan tersebut masih berorientasi kepada monistis. Paradigma hakim pidana yang dilembagakan dengan ajaran monistis menciptakan kendala bagi ajaran dualistis untuk menggantikan paradigma monistis para hakim. Keadaan ini berpotensi melahirkan kesenjangan baru yang menghambat penerapan ajaran dualistis dalam putusan pidana manakala RKUHP disahkan dan diberlakukan.[1] Monistis tentang delik menyatakan bahwa unsur perbuatan pidana terdiri dari unsur obyektif dan unsur subyektif. Unsur obyektif meliputi adanya sifat melawan hukum, persesuaian dengan delik dan tidak adanya alasan pemaaf. Sedangkan unsur subyektif terdiri dari kesalahan. Pandangan ini menyatukan unsur pertanggungjawaban pidana (kesalahan) ke dalam perbuatan pidana tanpa diferensiasi antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.[2] Dualistis tentang delik membedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, kesalahan merupakan unsur subyektif yang menjadi unsur pertanggungjawaban pidana. Karena itu, kesalahan tidak mungkin dimasukkan dalam perbuatan pidana yang hanya mengandung unsur obyektif saja sehingga perbuatan pidana hanya dapat dilarang (tidak dipidana). Adapun pemidanaan ditujukan kepada pembuat yang dinyatakan dapat mempertanggungjawabkan perbuatan dilakukannya. Berdasarkan hal ini, pemidanaan terhadap pembuat harus melihat dua hal yang terpisah, pertama, apakah perbuatan pidana dilakukan, dan kedua, apakah pembuat dapat mempertangungjawabkan (bersalah) dalam melakukan perbuatan pidana sehingga dapat dipidana. [3]Pandangan monisme diikuti sebagian besar ahli hukum pidana di Belanda dan Indonesia, antara lain Jonkers, Van Hamel, Simon, Lamintang dan Sathochid. [4]S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Penerbit Ahaem-Petehaem, 1996), h. 201[5]Ibid.[6]Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 1997), Cet. III, hh. 193-194.[7] Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, t.t.). h 73.[8] Jonkers mengartikan strafbaar feit dengan peristiwa pidana[9] JE. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1987), h. 135[10] Ibid. H. 136[11] Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan dan Kesalahan dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), h. 13 [12] Ibid. hh. 18-20[13] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 1993), cet. V. h. 54[14] Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hh. 44-5[15] Ibid, h. 43[16] Roeslan Saleh, Beberapa Catatan Sekitar Perbuatan .....h. 21 [17] Ibid[18] Untuk lebih jelasnya, lihat bab tentang sifat melawan hukum.[19] Ibid[20] Sampai hari ini belum ada terjemahan resmi KUHP yang mengadopsi Wetboek van Strafrecht Belanda. Lihat Andi Zaenal Abidin Farid, Op. Cit. hh. 60-75.; Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990)[21] Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Eresco, 1986), edisi II, h. 11[22] UU pers tidak mengatur hal-hal umum yang diatur dalam KUHP dan menambahkannya dengan hal baru yang mencirikan UU tersebut lex specialis dari UU tertentu. Lex specialis mensyaratkan pengaturan hal-hal umum yang diatur dalam lex generalis dan menambahkan hal-hal baru yang belum diatur dalam lex generalis[23] Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983). hh. 12-3[24] J. Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 113[25] Chairul Huda adalah murid Roeslan Saleh dan anggota tim revisi Rancangan KUHP tahun 2004. Beliau menulis disertasi tentang ajaran dualistis yang berjudul “Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana (Tinjauan Kritis terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana)” [26] J. Remmelink, Op. Cit, h. 14[27] Dalam revisi terakhir Rancangan KUHP sebelum diajukan ke DPR, definisi perbuatan pidana adalah “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”[28] Sedangkan RKUHP mendefinikan pertanggungjawaban pidana dengan “diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya”[29] Chairul Huda, Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana (Telaah Kritis Terhadap Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana), Disertasi, Program Pascasarjana UI, Jakarta[30] Chairul Huda, Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar