Selasa, 19 Agustus 2008

PERBUATAN DALAM HUKUM PIDANA

Secara prinsipil, eksistensi hukum pidana bertujuan untuk menjaga ketertiban sosial dalam masyarakat yang dituangkan dalam pelbagai peraturan yang memerintahkan orang untuk tidak melakukan sesuatu dan melarang seseorang untuk melakukan sesuatu. Ini merupakan gambaran sederhana dari implementasi tujuan hukum pidana yang harus melewati tiga fase, yaitu perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan.[1] Dengan kata lain, implementasi tujuan hukum yang menjaga ketertiban dituangkan dalam aturan hukum yang menentukan suatu perbuatan yang dilarang, memutuskan barang siapa yang dianggap mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dan bagaimana nestapa atas perbuatan tersebut ditimpakan kepada pembuatnya.Pembahasan pertama berkaitan dengan perbuatan pidana didahului dengan pembahasan tentang perbuatan lantaran suatu perbuatan tidak serta merta dikualifikasi sebagai perbuatan pidana. Dari sini muncul pertanyaan apakah perbuatan dalam hukum pidana sama dengan perbuatan yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari? Apa perbedaan perbuatan dan perbuatan pidana?A. KELAKUAN/TINGKAH LAKU (GEDRAGING)Berbeda dengan pengertian “perbuatan” dalam kehidupan sehari-hari yang hanya mencakup gerak-gerik yang kita lakukan, “perbuatan” dalam pengertian hukum pidana memiliki arti yang lebih luas dan sekaligus lebih sempit. Dikatakan lebih luas karena dilihat dari perspektif hukum pidana, syarat yang dibutuhkan bagi terjadinya perbuatan dalam hukum pidana tidak hanya terbatas pada gerak-gerik tubuh sebagaimana dipahami dalam pengertian perbuatan sehari-hari melainkan juga meliputi perbuatan aktif (komisi) dan perbuatan pasif (omisi). Dikatakan lebih sempit karena “tidak semua tindakan (kelakuan) memiliki makna dalam hukum pidana”.[2] Bagi Hukum pidana, perbuatan dinilai memiliki makna manakala perbuatan tersebut memenuhi tiga unsur. Pertama, adanya kelakuan. Kedua, akibat yang timbul dari kelakuan, dan ketiga, keadaan yang menyertai kelakuan.[3]Sebagian ahli hukum pidana mengartikan kelakuan sebagai gerakan tubuh yang dikehendaki. Pandangan yang digolongkan dalam kelompok konservatif ini sempat mendominasi perdebatan hukum pidana. Lebih lanjut pandangan ini menyatakan, perbuatan memiliki dua aspek, aspek publik dan aspek privat. Aspek publik meliputi perbuatan yang mengandung gerakan tubuh (bodily movement). Sedangkan aspek privat meliputi mental yang terkandung dalam perbuatan.Pandangan serupa dapat ditemukan dalam kelompok yang menyatakan bahwa kelakuan adalah gerakan otot untuk melakukan sesuatu. Pandangan ini didasarkan kepada bentuk sederhana dari gerakan tubuh yang hanya dapat dilakukan dengan bantuan otot tubuh, seperti mengambil gelas, melempar batu dan lainnya.Berdasarkan perspektif konservatif, kelakuan hanya menjangkau perbuatan yang dilakukan secara aktif (komisi) dan mengabaikan perbuatan omisi yang diterima secara luas sebagai perbuatan dalam hukum pidana. Karena itu, pandangan konservatif menilai bahwa pembunuhan telah terjadi manakala seseorang menembak orang lain sampai meninggal dunia. Sebaliknya, seorang ibu yang tidak menyusui anaknya yang sedang dalam keadaan kelaparan dan membiarkannya sampai meninggal dunia tidak dianggap sebagai pembunuhan karena tidak ada perbuatan aktif (seperti memukul, mencekik) yang menyebabkan si bayi meninggal dunia.Keberatan lainnya yang diajukan kepada pandangan konservatif adalah adanya unsur mental yang melingkupi pebuatan (kelakuan). Pandangan ini terlalu prematur lantaran membicarakan unsur mental yang menjadi lingkup pertanggungjawaban pidana. Sedangkan kelakuan merupakan unsur dalam suatu perbuatan yang menjadi prasyarat bagi perbuatan pidana.Hyman Gross[4] mengemukakan beberapa keberatan terhadap pandangan konservatif. Pertama, beberapa perbuatan (pidana) tidak mengandung gerakan tubuh sebagaimana halnya seorang ibu yang mengabaikan anaknya sehingga meninggal dunia. Kedua, beberapa perbuatan (pidana) tidak melibatkan gerakan tubuh bahkan pelaku perbuatan tersebut tidak mempunyai tubuh (fisik) manusia. Modernitas hukum pidana memungkinkan subyek hukum pidana tidak terbatas pada sisi fisiologis yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya subyek hukum pidana melainkan juga menjadikan korporasi ataupun negara sebagai pelaku kejahatan polusi ataupun kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Ketiga, dengan sedikit pengecualian, gerakan tubuh yang khusus tidak dipersyaratkan untuk mewujudkan delik. Bahkan, masih menurut Gross, hanya sedikit perbuatan (pidana) yang menyaratkan adanya gerakan tubuh seperti perkosaan.
Pendapat konservatif ini juga dapat kita temukan dalam perdebatan hukum pidana di negeri Belanda. Simon dan van Hamel memandang kelakuan sebagai gerakan otot yang dikehendaki yang ditujukan untuk menimbulkan suatu akibat. Pendapat ini ditentang oleh Pompe karena kadangkala perbuatan pidana tidak memerlukan gerakan otot. Kendati demikian, kelakuan dalam pengertian positif tidak dapat dilepaskan dari gerakan otot. Karenanya, Pompe mansyaratkan tiga hal dalam memahami makna kelakuan. Pertama, kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang. Kedua, kejadian tersebut harus nampak keluar dan ketiga, harus ditujukan kepada tujuan yang menjadi obyek hukum.[5] Namun demikian, persyaratan yang diajukan Pompe memasukkan unsur akibat dalam kelakuan, unsur mana seharusnya dipisahkan dari kelakuan. Hal ini dapat disimpulkan dari titik beratnya yang terletak dalam sebuah kejadian. Moeljatno menyarankan pengertian yang lebih sederhana dengan mengganti gerakan tubuh (jasmani) menjadi sikap jasmani yang dinilai lebih sesuai untuk pengertian kelakuan.[6] Dengan begitu, pengertian sikap jasmani tidak hanya mencakup kelakuan positif yang diwujudkan dalam gerakan tubuh melainkan juga meliputi kelakuan negatif.Selain itu, sikap jasmani tersebut harus disadari dalam pengertian yang negatif, yaitu sikap jasmani yang betul-betul tidak disadari tidak termasuk dalam kelakuan. Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan “…meskipun disadari, tetapi kalau dalam timbulnya, orangnya yang bersangkutan sama sekali tidak mengadakan keaktifan, melainkan hanya pasif saja, maka tidak termasuk di situ”.[7] Berdasarkan pengertian tersebut, Moeljatno mengecualikan beberapa sikap jasmani sebagai kelakuan, antara lain sikap jasmani yang tidak dikehendaki oleh orang yang dipaksa, gerakan reflek dan sikap jasmani yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar.Dalam perspektif dualistis yang memisahkan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, pendapat tentang kelakuan yang harus disadari membutuhkan penjelasan lebih mendalam. Hal ini berkaitan dengan kesadaran yang menjadi salah satu sebab terjadinya kelakuan sebagaimana tampak dalam pengecualian yang dikemukakan oleh Moeljatno. Karena itu, hukum pidana yang mengedepankan prinsip-prinsip dualistis tentang delik harus menggarisbawahi bahwa makna “disadari” ataupun kehendak yang terkandung dalam kelakuan bukanlah bagian dari unsur melawan hukum (subyektif) yang menjadi unsur dari perbuatan pidana dan bukan pula unsur pertanggungjawaban pidana. Makna “disadari” ataupun kehendak harus dimaknai dalam pengertian sehari-hari untuk mencegah kerumitan hukum pidana. Pengabaian terhadap makna “disadari” maupun kehendak berdasarkan pengertian sehari-hari menempatkan seseorang yang melakukan sesuatu di bawah paksaan orang dalam posisi problematik guna menentukan ada atau tidak adanya kelakuan lantaran pelaku tidak menghendaki perbuatan tersebut. Dengan pengertian sehari-hari, pelaku tetap dipandang melakukan perbuatan yang disadari meskipun relevansinya dalam hukum pidana ditentukan berdasarkan hubungan antara pemaksa dan orang yang dipaksa sebagaimana dipahami dalam konteks suruh lakukan (doen plegen). Di satu sisi, kelakuan tanpa disadari adalah pendapat yang tidak lazim karena hanya mengutamakan sisi fisik dan mengabaikan sisi psikis. Sedangkan di sisi lain, dibutuhkan diferensiasi yang tegas untuk membedakan kesadaran/kehendak dalam kelakuan dan kehendak yang termasuk dalam pertanggungjawaban pidana.Adakalanya penting dalam pandangan penulis untuk membedakan kelakuan yang disadari dan kelakuan yang dikehendaki. Dalam konteks doen plegen, seorang manus ministra adalah alat tanpa kehendak manakala melakukan perbuatan meskipun ia menyadari apa yang dilakukan. Kasus hipotetis ini berbeda dengan seseorang yang melakukan perbuatan dalam keadaan mengigau atau gerakan reflek, di mana keduanya tidak disadari (apalagi dikehendaki).B. AKIBATAkibat yang ditimbulkan dari kelakuan dapat dilihat dengan mudah dalam delik yang dirumuskan secara materiel, yaitu delik yang hanya mensyaratkan timbulnya akibat tertentu. Delik ini tidak mempersoalkan cara delik tersebut dilakukan. Konstruksi delik yang menimbulkan akibat tertentu dapat dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, delik materiel sebagaimana disinggung di atas (pasal 338 KUHP).[8] Kedua, delik culpa yang mengakibat kematian orang lain (pasal 359 KUHP)[9] atau menyebabkan luka (pasal 360 KUHP).[10] Ketiga, delik-delik yang berunsurkan keadaan yang memperberatkan pidana[11] atau delik yang dikualifikasi akibatnya[12] seperti dalam pasal 183 ayat 3.Kendati pembunuhan merupakan delik materiel, pelaksanaan perbuatan (pidana) tetap saja penting untuk menentukan adanya sebab-akibat. Langkah ini penting guna menentukan hubungan kausal antara perbuatan dan akibat yang ditimbulkan. Hukum pidana menggunakan ukuran atau kriteria tertentu untuk menentukan hubungan kausal antara perbuatan dengan matinya orang. UU tidak menjelaskan ukuran dan kriteria tersebut. Sementara itu, putusan HMG dan RvJ Semarang hanya menyatakan “bahwa ada hubungan kausal antara suatu kelakuan dengan akibat yang merupakan delik, dipakai istilah akibat langsung, yakni istilah yang dipakai dalam praktek peradilan di Ned Indie”.[13] Putusan ini pun tidak memberikan penjelasan yang mendalam tentang akibat langsung.Moeljatno[14] berpendapat bahwa penentuan hubungan kausal harus didasarkan kepada semua hal ihwal keadaan yang terkandung dalam hubungan kausal. Di satu sisi, hubungan kausal harus mempertimbangkan perbuatan dan alat yang digunakan sebelum terjadinya akibat. Di sisi lain, keadaan korban yang secara obyektif turut mempengaruhi terjadinya kausalitas, keadaan mana hanya dapat ditentukan setelah akibatnya terjadi. Metodologi penentuan hubungan kausal ini disimpulkan dari kasus yang disidangkan di pengadilan Nederland pada tahun 1939.Dalam kasus itu diceritakan bahwa...“Suami A, dituduh menganiaya istrinya, yaitu memukul kepalanya dengan selop yang kemudian meninggal dunia sehingga melakukan perbuatan pidana termaktub dalam Pasal 351 ayat 3 KUHP. Yang menjadi soal ialah apakah ada hubungan kausal antara pemukulan dengan selop dan matinya istri tersebut tadi. Setelah pengadilan memeriksa barang bukti selop dan melihat bahwa benda tersebut adalah selop biasa saja, jadi misalnya bukan selop yang memakai hak tebal dan berlapis besi, memutuskan bahwa pemukulan dengan selop biasa, sekalipun dengan jarak dekat di bagian kepala, tidak mampu dan wajar untuk menyebabkan maut, sehingga perbuatan tersebut tidak adekuat kausal dengan akibat tadi, dan terdakwa harus dilepas dari tuntutan hukum. Karena pihak penuntut umum naik banding, maka perkara maju ke pengadilan tinggi. Di sini diadakan approach atau tanggapan lain. Bukan saja ujudnya selop dan cara memukulnya yang dimasukkan dalam pertimbangan tapi juga keadaan korban. Menurut keterangan keahlian dari dokter (visum et repertum) ternyata wanita tersbut mempunyai tulang kepala yang dinamakan “eierschedel”, tulang kepala telur, dan selop tersebut justru mengenai tempat di mana tulangnya sangat tipis. Mengingat kenyataan ini, maka menurut pengadilan tinggi si sitri adalah akibat pemukulan selop oleh terdakwa, sehingga Pasal 351 ayat 3 dapat dikenakan padanya”.[15]Selain penentuan kausalitas berdasarkan keadaan perbuatan, akibat dan keadaan korban, kasus tersebut menyimpulkan bahwa ukuran adalah akal atau logika ilmu pengetahuan.C. KEADAAN YANG MENYERTAI PERBUATANSyarat ketiga bagi terjadinya perbuatan adalah keadaan yang menyertai perbuatan. Secara umum, setiap delik memuat unsur ini. Pencurian, misalnya, dikatakan telah teradi apabila barang yang diambil adalah “milik orang lain” yang dalam hal ini disebut sebagai keadaan yang menyertai perbuatan (pengambilan barang).Bentuk keadaan yang menyertai perbuatan bergantung kepada rumusan delik. Selain itu, terdapat hal ihwal tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 164[16] dan 165 KUHP. Kendati keadaan tersebut hanya sebagai unsur tambahan yang terjadi setelah perbuatan dilakukan, keberadaan keadaan itu menempati peranan penting dalam merealisasikan perbuatan pidana.Apakah keadaan yang menyertai perbuatan merupakan unsur atau elemen dari perbuatan pidana? Sebagian ahli hukum pidana berpendapat bahwa keadaan tersebut merupakan unsur tambahan saja. Sedangkan van Hamel dan Simons menolak memasukkan keadaan sebagai unsur strafbaar feit. Menurut van Hamel, syarat tambahan tadi tidak mengenal strafbaarheid, sebab tidaklah mungkin bahwa suatu keadaan yang timbulnya kemudian setelah perbuatan tersebut. Juga tidak meungkin keadaan yang demikian itu menghilangkan sifat tersebut. Adapaun Simons menegaskan bahwa syarat tambaan tersebut bukan bagian dari unsur strafbaar feit yang sesungguhnya.Sementara itu, Moeljatno cenderung mengklasifikasikan keadaan tersebut sebagai syarat penuntutan artinya “meskipun perbuatan tanpa syarat tambahan tadi merupakan perbuatan yang tidak baik, namun untuk mendatangkan sangsi pidana, jadi untuk menuntut supaya pembuat dijatuhi pidana, diperlukan syarat yang berupa keadaan tambahan tadi”.[1] Herbert L. Parker,[2] Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 113[3] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta:[4] Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, (New York: Oxford university Press, 1979), hh. 48-58[5] Moeljatno, Op. Cit.[6] Ibid[7] Ibid[8] Pasal 338 KUHP menyatakan “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.[9] Pasal 359 KUHP menyatakan “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”[10] Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta:Ghalia, 1995), hh. 204-9[11] Jonkers,…………, h. 68[12] Van Bemmelen,………..h. 152[13] Moeljatno, Asas-asas hukum pidana[14] Moeljatno, Membangun Hukum Pidana[15] Moeljatno, Membangun Hukum Pidana, Ibid[16] Pasal 164 KUHP menyatakan “sesuatu permufakatan untuk melakukan kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, dan 108, 113, 115, 124, 187 atau 187 bis, sedang masih ada waktu untuk mencegah kejahatan itu, dan dengan sengaja tidak segera memberitahukan tentang hal itu kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada orang yang terancam oleh kejahatan itu, dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga ratus rupiah”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar