Selasa, 10 Februari 2009

PEMBERANTASAN KORUPSI EKSTENSIF

Kendati pemberantasan korupsi menjadi prasyarat utama dalam membangun negara domokratis, namun penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi harus tetap mengedepankan penegakan hukum yang berkeadilan. Tuntutan dan harapan yang begitu besar dari masyarakat melahirkan dilema dalam pemberantasan korupsi. Di satu sisi, masyarakat sudah terlalu lelah dengan maraknya korupsi sehingga mengharapkan dilakukannya cara-cara luar biasa untuk membasmi korupsi. Di sisi lain, tuntutan dan harapan tersebut ditanggapi oleh aparat hukum secara tidak proporsional yang mengakibatkan terjadinya penegakan hukum yang melanggar prinsip-prinsip umum yang berlaku di bidang hukum (pidana)

Tulisan ini bermaksud meluruskan penegakan hukum secara ekstensif yang yang tidak mengindahkan prisnip-prinsip umum yang berlaku di bidang hukum, tanpa mengurangi substansi bahwa pemberantasan korupsi menjadi konsensus umum untuk membangun negara yang sehat. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa pemberantasan korupsi dapat diterapkan secara efektif berdasarkan prinsip hukum meskipun cara yang digunakan bersifat luar biasa.

Setidaknya terdapat dua indikasi pemberantasan korupsi ekstensif yang bertentangan dengan prinsip hukum. Pertama, kriminalisasi kebijakan negara (staatsbeleid) yang seharusnya tidak termasuk dalam lingkup hukum pidana, tapi termasuk dalam lingkup Hukum Administrasi Negara (HAN) yang diputus dalam Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Kasus pengucuran fasilitas diskonto (fasdis) kepada 18 bank yang melibatkan 3 (tiga) mantan direksi BI merupakan salah satu contoh kriminalisasi kebijakan negara. Dalam kasus tersebut, ketiga mantan direksi diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena mengucurkan fasdis yang merugikan keuangan negara. Pengucuran tersebut merupakan kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh BI untuk mencegah gejolak masyarakat sebelum dilaksanakannya Sidang Umum MPR.

Pengucuran fasdis merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang diterbitkan oleh lembaga pemerintahan (termasuk BI) di luar lembaga legislatif dan yudikatif. Untuk dapat diancam dengan pidana, HAN membatasi bahwa hanya dalam keadaan tertentu saja KTUN dapat diancam dengan pidana. Berdasarkan perspektif HAN, kebijakan negara dipertanggungjawabkan secara administratif sepanjang kebijakan tersebut didasarkan aturan beserta peruntukannya dan wewenang yang lahir dari aturan. Sepanjang kebijakan didasarkan atas aturan tertulis dan dilaksanakannya berdasarkan diskresi yang diberikan oleh UU serta digunakan sesuai dengan peruntukannya, maka tidak ada alasan bagi hukum pidana untuk mengkriminalisasi kebijakan tersebut karena pertanggungjawabannya bersifat administratif yang diselesaikan oleh PTUN manakala terjadi penyimpangan dalam pembuatan kebijakan.

Hukum pidana baru dapat mengkriminalisasi kebijakan negara manakala penyimpangan kebijakan bersifat mal administratif yang mengandung tindak pidana sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pembatasan ini sangat limitatif karena tidak semua penyimpangan administratif melahirkan mal administrasi. Dalam konteks ini, perbuatan mantan direksi BI tidak dapat dikategorikan tindak pidana jika KTUN dilaksanakan sesuai dengan aturan, wewenang dan peruntukannya. Untuk dapat dipidana, pengadilan harus membuktikan apakah mantan direksi BI mengambil keuntungan ilegal dari pengucuran fasdis seperti, misalnya, setoran ilegal kepada mantan direksi BI agar bank tertentu mendapat fasdis padahal tidak memenuhi syarat. Sepanjang fakta (keuntungan ilegal) tidak dapat dibuktikan, maka perbuatan mantan direksi termasuk kebijakan negara yang tidak dapat dikriminalisasi meskipun bank penerima menyalahgunakan fasdis yang mendatangkan kerugian bagi negara. Dalam keadaan demikian, tindak pidana terletak pada penerima fasdis bukan pada pemberi fasdis.

Kedua, pemberantasan korupsi secara ekstensif tidak memperhatikan asas lex specialis derogat legi generali yang terkandung dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP dan Pasal 14 UU Tindak Pidana Korupsi (UUTPK). Doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus mengabaikan ketentuan yang bersifat umum sehingga aturan khusus saja yang diterapkan. Kekhususan aturan dilihat apakah aturan khusus memuat semua bestanddeel delict dalam aturan umum ditambah satu unsur baru (kekhususan logis) atau apakah ketentuan dalam aturan khusus mempunyai hubungan normatif dengan aturan umum (kekhususan sistematis). Dalam hal kekhususan logis, terdakwa masih bisa didakwa dengan aturan umum, namun dalam kekhususan sistematis terdakwa harus didakwa dengan aturan khusus karena dakwaan dengan aturan umum dapat mengakibatkan lepas dari tuntutan hukum.

Kasus ECW Neloe menjadi contoh pelanggaran asas kekhususan sistematis. Kalaupun Neloe melakukan tindak pidana, pemeriksaan judisial seharusnya merujuk kepada UU Perbankan, apakah ada pasal UU perbankan yang dapat diterapkan karena tindak pidana tersebut terjadi di bidang perbankan. Dalam pertimbangan putusan, pengadilan seharusnya menjelaskan penggunaan UU Perbankan sebagai aturan khusus, karena UUTPK baru dapat diterapkan manakala tidak ada pasal dalam UU Perbankan yang dapat digunakan. Penggunaan UUTPK, padahal UU Perbankan dapat diterapkan, seharusnya mengakibatkan Neloe diputus lepas dari tuntutan hukum.

Dalam konteks ini, UU Perbankan adalah kekhususan sistematis dari UUTPK karena keduanya mempunyai hubungan normatif, yaitu larangan merugikan keuangan negara. Perbedaannya terletak pada pengaturan UU Perbankan yang hanya mengkhususkan tindak pidana di bidang perbankan, sedangkan UUTPK berlaku umum terhadap semua tindak pidana yang merugikan keuangan negara. Berdasarkan asas lex specialis derogate legi generali yang tercantum dalam Pasal 63 ayat 2 KUHP, maka UU Perbankan yang harus digunakan dalam perkara Neloe. Asas ini juga diperkuat dengan Pasal 14 UUTPK yang secara a contrario disimpulkan bahwa sepanjang UU Perbankan tidak menyatakan perbuatan yang diatur sebagai korupsi, maka UU Perbankan yang diberlakukan.

Uraian di atas hanyalah sebagian dari penegakan hukum ekstensif disebabkan orientasi penegakan yang lebih menekankan pemidanaan berat sehingga UUTPK dianggap sebagai UU Sapu Jagat yang dapat “dipaksakan” terhadap tindak pidana apapun. Menurut pengamatan penulis, tindak pidana di luar KUHP telah menerapkan ancaman sanksi yang sama beratnya dengan UUTPK sehingga dapat memberikan efek jera yang sama dengan UUTPK. Akhirnya, perlu penulis sampaikan bahwa pemberantasan korupsi harus selalu sejalan dengan prinsip hukum, karena keberadaan asas hukum tidak akan mereduksi semangat pemberantasan korupsi, justru sebaliknya, asas hukum dapat memberikan legitimasi kuat bagi pelaksanaan hukum yang berkeadilan. Jadi berantas korupsi dengan cara luar biasa yang berdasarkan asas hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar